KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb
Puji dan Syukur kami panjatkan ke
Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya
sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai Gadai Syari’ah dalam Lembaga Keuangan Syari’ah.
Makalah
ini dibuat dengan berbagai buku dan informasi-informasi digital dan beberapa
bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun kami. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Metro, 20 Desember 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian ....................................................................................... 3
B.
Sejarah Gadai Syariah...................................................................... 4
C.
Landasan Hukum Gadai.................................................................. 4
D.
Rukun dan Syarat Gadai.................................................................. 7
E.
Rahn dalam teknis perbankan dan ketentuan umum rahn............... 7
F.
Akad Perjanjian Rahn...................................................................... 9
G.
Aspek pendirian penggadaian syariah.............................................. 10
H.
Operasiona gadai syariah................................................................. 11
I.
Fungsi, Manfaat, tujuan dan risiko pegadaian................................. 11
J.
Ikatan gadai, pembatalan dan berakhirnya gadai............................. 14
K.
Penyelesaian Gadai.......................................................................... 15
L.
Persamaan dan perbedaan gadai syariah dan konvensional............. 16
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan...................................................................................... 17
B.
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Syari’at
Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah
satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk
pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan
pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur
diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang
telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai
sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat
kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah
sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai
juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga
yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang
muncul pula Pegadaian Syariáh.
Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun
harus sesuai dengan syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik
yang dijalankan. Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut
pandangan islam, yang meliputi pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah
islam, landasan hukum gadai, rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang
sedang digadaikan, implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai, serta
penyelesaian gadai.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apakah
gadai itu ?
2. Bagaimana
dasar hukum gadai menurutAl-Qur’an dan Hadits?
3. Apakah
rukun dan syarat Rahn?
4. Bagaimana
sejarah gadai syariah?
5. Bagaimana
teknis dan ketentuan umum gadai syariah?
6. Apa
saja akad perjanjian gadai / rahn?
7. Bagaimana
aspek pendirian gadai syariah?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut syariah
2. Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur’an Hadits
3. Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan
4. Mengetahui akad perjanjian gadai syariah
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Gadai Syariah
A. Pengertian
Ar-Rahn adalah menahan suatu barang sebagai tanggungan
utang. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh
atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah
semacam jaminan utang atau gadai.
Gadai
Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan). Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta
dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan
mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[1]
Rahn
menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang
memungkinkan ditarik kembali.[2]
Istilah
rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang
diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan. Dari
kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang
bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan
suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama
Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang,
yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa
membayar hutangnya.
Dalam
bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi (2003) mengutip pendapat Imam Abu Zakariya
al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat
harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda
itu bila utang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan
kepentingan bisnis, jual beli mitra.
Adapun
pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al-Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari
suatu hutang untuk dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup
membayarnya dari yang berpiutang.
Dari
pendapat dan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan
barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan,
hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
B. Sejarahnya Pegadaian Syariah
Terbitnya
PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan
Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus
diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah
hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha
Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa
operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga
Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa
terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan
setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit
Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani
kegiatan usaha syariah.[3]
Konsep
operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas
rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam.
Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor
Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit
organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini
merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya
dari usaha gadai konvensional. Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta
dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah ( ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan
Januari tahun 2003. Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar,
Semarang, Surakarta, dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003.
Masih di tahun yang sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonversi
menjadi Pegadaian Syariah.
C. Landasan Hukum Gadai
Sebagaimana
halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh
dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam
Al-qur’an dan Hadits.[4]
1.
Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum
perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283, diantaranya adalah :
.......وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)....”(Qs. Albaqarah :283)
Ayat ini
dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu
yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan jumhur
ulama. Dan ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang
jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan
gadai.
Menurut ayat
yang tertera diatas, bahwasannya Al-Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad
gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur riba yang terdapat didalamnya.
2.
Hadits
Yang menjadi
landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an ialah beberapa
hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:
a. Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ
حَدِيدٍ
“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan
baju besi beliau sebagai jaminan”. (shahih muslim)
b. Dari Abu
Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ
صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ
اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ
اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari
pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni
dan Ibnu Majah).[5]
c. Nabi bersabda :
عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا,
وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh
dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat
diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib
menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (shahih muslim).
3.
Ijma’
Mengenai
dalil ijma’ ummat Islam sepakat (ijma’) bahwa secara garis besar akad rahn
(gadai / penjaminan utang) diperbolehkan. Pemberi gadai boleh memanfaatkan
barang gadai secara penuh sepanjang tidak mengakibatkan berkurangnya nilai
barang gadai tersebut[6].
4.
Fatwa Dewan Syariah
Adapun
mengenai Prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.[7]
D. Rukun dan Syarat Gadai (Rahn)
Dalam
perjanjian gadai akan sah apabila memenuhi rukun serta syarat sahnya gadai,
diantaranya yaitu:[8]
1. Orang yang bertransaksi (Akid )
Syarat yang
harus dipenuhi bagi orang yang akan melakukan transaksi gadai yaitu rahin (pemberi
gadai) dan murtahin (penerima gadai) adalah orang yang telah dewasa,
berakal serta dalam melakukan gadai merupakan keinginan sendiri.
2. Ijab qabul (sigha )
Ijab qabul
ini dapat dilakukan dengan lisan ataupun tulisan, asalkan didalamnya terkandung
maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak yang akan melakukan
perjanjian.
3. Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Barang yang
akan digadaikan harus memenuhi syarat diantaranya yaitu dapat diserah
terimakan, merupakan barang yang bermanfaat, barang merupakan milik penggadai,
kepemilikan jelas, tidak bersatu dengan orang lain, harta yang tetap ataupun
yang dapat dipindahkan, serta barang tersebut dikuasai oleh penggadai.
4. Utang (Marhun bih)
Syarat dari
utang ini yaitu harus jelas yang diketahui oleh rahin maupun murtahin,
utang harus lazim pada waktu akad serta dapat dimanfaatkan.
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa
syarat, antara lain:
a. Harus diperjual belikan
b. Harus berupa harta yang bernilai
c. Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
d. Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak
sah untuk digadaikan harus berupa brang yang diterima secera langsung.
e. Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau penggadai)
setidaknya harus seizin pemiliknya.
E. Rahn dalam Teknis Perbankan dan Ketentuan Umum Gadai (Rahn
1. Rahn dalam teknis perbankan
a. Rahn merupakan produk
penunjang sebagai alternatif penggadaian, terutama untuk membantu nasabah dalam
memenuhi kebutuhan insidentilnya yang mendesak.
b. Bank tidak menarik apapun,
kecuali biaya pemeliharaan dan keamanan atas barang yang digadaikan.
c. Akad rahn dapat pula
diaplikasikan untuk memenuhi kebutuhan bank akan jaminan tambahan atas suatu
pemberian fasilitas pembiayaan kepada nasabah.[9]
2. Ketentuan umum gadai
a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan barang sampai semua utang rahin
(yang menyerakan barang) dilunasi.[10]
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.pada prisip marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya sekedar pengganti biaya
pemeliharaan perawatannya
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada
dasarnya menjadi kewajiban rahin namun dapat dilakukan juga oleh murtahin,
sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin
d. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak
boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
e. Penjualan marhun:
1) Apabila jatuh tempo murtahin harus memperingatkan
rahin untuk segera melunasi hutangnya
2) Apabila rahin tetap tidak melunasi hutangnya
maka marhun tetap dijual paksa atau dieksekusi
3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi
hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
BARANG JAMINAN :
Semakin besar nilai taksiran barang,
semakin besar pula pinjaman yang akan diperoleh. Adapun jenis-jenis barang
berharga yang dapat diterima dan dijadikan jaminan pegadaian syariah adalah
sebagai berikut :
a. Barang-barang atau benda perhiasan, antara lain: emas,
perak, intan, berlian, mutiara, platina dan jam.
b. Barang-barang berupa kendaraan seperti mobil (termasuk
bajaj dan bemo), sepeda motor dan sepeda biasa (termasuk becak).
c. Barang-barang elektronik, antara lain : telivisi,
radio, radio tape, video, komputer,
kulkas, tutsel dan mesin tik.
d. Mesin-mesin seperti mesin jahit dan mesin kapal motor.
e. Barang-barang keperluan rumah tangga seperti :
-
Barang tekstil, berupa pakaian, permadani atau kain batik.
-
Barang pecah belah dengan catatan bahwa semua barang yang dijaminkan harus
dalam kondis baik (masih mempunyai nilai jual). Dalam hal ini penting untuk
penggadaian syariah, mengingat kan nasabah tidak dapat mengembalikan
pinjamannya maka barang jaminan akan dilelang sebagai penggantinya
F. Akad Perjanjian Gadai (Rahn)
1. Akad Al-Qardhul Hasan
Akad
ini dilakukan pada kasus nasabah yang ingin menggadaikan barangnya untuk
kebutuhan konsumtif. Dengan demikian nasabah (rahin) akan memberikan
biaya upah atau fee kepada pegadaian atau murtahin yang telah
menjaga atau merawat barang gadai (marhun)
2. Akad Al-Mudharabah
Akad
dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha
(pembiyaan investasi dan modal kerja) dengan demikian rahin akan
memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan kepada murtahin sesuai
kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi
3. Akad Bai Al-Muqayadah
Akad
ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya
untuk keperluan produkif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut
menginginkan modal kerja berupa pembelian barang, sedangkan barang jaminan yang
dapat dijaminkan untuk akad ini adalah barang-barang yang dapat dimanfaatkan
atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan
demikian, murtahin akan memberikan barang yang sesuai denga keinginan rahin
atau rahin akan memberikan mark up kepada murtahin sesuai
dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai bats waktu yang telah
ditentukan.
G.
Aspek Pendirian Pegadaian Syariah
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian
yang ideal dibutuhkan beberapa aspek pegadaian. Adapun aspek-aspek pendirian
pegadaian syariah tersebut antara lain :
1. Aspek Legalitas
Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1990 tentang berdirinya lembaga gadai
yang berubah dari bentuk perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum pegadaian
pasal 3 ayat (1a). Menyebutkan bahwa perum pegadaian adalah badan usaha tunggal
yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
Kemudian misi dari perum pegadaian disebutkan dalam pasal 5 ayat 2b, yaitu
pencegahan praktek ijon, riba, pinjaman tidak wajar lainnya.
2. Aspek Permodalan
Modal
yang dibutuhkan cukup besar, karena selain untuk dipinjamkan ke nasabah juga
untuk investasi untuk penyimpanan barang gadai. Permodalan diperoleh dengan
sistim bagi hasil seperti pengumpulan dana dari beberapa orang (musyarakah)
atau dengan mencari sumber dana (shahibul maal), seperti bank atau
perorangan untuk mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah)
3. Aspek Sumber Daya Manusia
SDM
pegadaian syariah harus memahami filosofi gadai dan sistem operasionalisasi gadai
syariah. SDM selain mampu menangani masalah taksiran barang gadai, penentuan
instrumen pembagian rugi laba atau jual beli, menangani masalah-masalah yang
dihadapi nasabah yang berhubungan penggunaan uang gadai, juga berperan aktif
dalam siar Islam dimana pegadaian itu berada.
4. Aspek Kelembagaan
Sifat
kelembagaan mempengaruhi keefektifan sebuah perusahaan gadai dapat bertahan.
Sebagai lembaga yang relatif belum banyak dikenal masyarakat, pegadaian syariah
perlu mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga yang berbeda dengan gadai
konvensional. Hal ini guna memperteguh guna keberadaannya sebagai lembaga yang
terdiri untuk memberikan kemashlahatan bagi masyarakat.
5. Aspek Sistem dan Prosedur
Sistem
dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dimana
keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena itu gadai
syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat dimana gadai itu berada,
maka sistem dan prosedural gadai syariah berlaku fleksibel asals sesuai dengan prinsip
gadai syariah.
6. Aspek Pengawasan
Yaitu
harus diawasi dengan Dewan Pengawas Syariah agar operasionalisasi gadai syariah
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
H.
Operasional Pegadaian Syariah
Implementasi
operasi pegadaian syariah hampir sama dengan pegadaian konvensional. Seperti
halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman
dengan jaminan barang berrgerak. Prosedur untuk memperoleh gadai syariah sangat
sederhana yaitu, masyarakat harus menunjukkan bukti identitas diri dan barang
bergerak seperti jaminan, lalu uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang
tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman,
nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja
denggan waktu proses yang jauh singkat.
I.
Fungsi, Manfaat, Tujuan dan Risiko Pegadaian
1. Fungsi Pegadaian
a. Mengelola penyaluran uang pinjama atas dasar hukum
gadai dengan cara mudah, cepat, aman dan hemat.
b. Menciptakan dan mengembangkan usaha-usaha lain yang
menguntungkan bagi pegadaian maupun masyarakat.
c. Mengelola keuangan perlengkapan, kepegawaian,
pendidikan dan pelatihan.
d. Mengelola organisasi, tata kerja dan tata laksana
pegadaian.
e. Melakukan penelitian dan pengembangan serta mengawasi
pengelolaan pegadaian.
2. Manfaat Pegadaian
Bank yang
menerapkan prinsip ar-rahn dapat
mengambil manfaatnya :
a. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau
bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan banj tersebut.[11]
b. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang
deposito bahwa dananya tidak kan hilang begitu saja jika nasabah peminjam
ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
c. Jika rahn diterapkan
dalam mekanisme penggadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara
kita yang kesulitan dalam dana terutama didaerah-daerah.
1. Bagi Nasabah
Manfaat utama yang diperoleh nasabah
yang meminjam dari perum pegadaian adalah ketersediaan dana dengan prosedur
yang relatif lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat terutama apabila
dibandingkan dengan kredit perbankan. Disamping itu mengingat itu jasa yang
ditawarkan oleh Perum Pegadaian tidak hanya jasa pegadaian, nasabah juga
memperolah manfaat sebagai berikut:
a. Penaksiran nilai suatu barang bergerak dari dari pihak
atau institusi yang telah berpengalaman dan dapat dipercaya.
b. Penitipan suatu barang bergerak pada tempat yang aman
dan dapat dipercaya Nasabah yang akan berpergian, merasa kurang aman
menempatkan barang bergeraknya ditempat sendiri, atau tidak mempunyai sarana
penyimpanan suatu barang bergerak dapat menitipkan suatu barang bergerak dapat
menitipkn barangnya di Perum Pegadaian.
2. Bagi Perusahaan Pegadaian
Manfaat yang
diharapkan Perum Pegadaian sesuai jasa yang diberikan kepada nasabahnya adalah:
a. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang
dibayarkan oleh peminjam dana;
b. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan
oleh nasabah memperoleh jasa tertentu dari Perum Pegadaian;
c. Pelaksanaan misi Perum Pegadaian sebagai salah satu
Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang pembiayaan berupa pemberian
bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur dan cara yang
relatif sederhana;
d. Berdasarkan Beraturan Pemerintah No. 10
Tahun 1990, laba yang diperoleh oleh Perum Pegadaian digunakan untuk:
1) Dana pembangunan semesta (55%);
2) Cadangan umum (5%);
3) Cadangan tujuan (5%);
4) Dana sosial (20%
3. Tujuan dari Perum Pegadaian adalah sebagai berikut :
a. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan
kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional
pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar hukum
gadai.
b. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman
tidak wajar lainnya.
c. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syari’ah
memiliki efek jaring pengaman sosial karena masyarakat yang butuh dana mendesak
tidak lagi dijerat pinjaman/pembiayaan bebas bunga.
4. Risiko
Adapun
risiko dalam rahn yang mungkin ada
dan diterapkan sebagai produk adalah :
1. Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
2. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
J. Ikatan Gadai, Pembatalan dan Berakhirnya gadai
1. Ikatan Gadai
Gadai adalah akad yang mengandung unsur ibadah sunnah yang memerlukan qabul sehingga akad gadai tidak akan mengikat, kecuali diadakannya serah terima sama seperti hibah dan akad pinjam meminjam utang. Oleh karena itu, pegadai berhak membatalkan akad gadai sebelum serah terima barang gadaian dilakukan, sedangkan pascaserah terima barang akad gadai menjadi mengikat (wajib ditepati).
Bagi penggadai sendiri, akad gadai tidak mengikat haknya dalam situasi apapun. Dia berhak membatalkan akad gadai kapan pun dia menghendaki, karena kebaikan gadai bagi dirinya terletak didalam serah terima barang gadaian.[1][15] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Hakim, dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda:
(
لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ,
وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ
ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang
menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
2.
Tindak Lanjut Terhadap Barang Gadaian
Ketika
akad gadai telah mengikat yang ditandai dengan serah terimahnya barang gadaian,
barang gadaian yang bergerak berpindah tangan kepada pegadai untuk memastikan
adanya jaminan. Kekuasaan penggadai terhadap barang gadaian tidak akan pernah
hilang, kecuali memberi kewenangan pegadai untuk memanfaatkan barang yang
digadaikan tersebut.
3. Berakhirnya
Ikatan Akad Gadai
Ikatan akad gadai
dalam pandangan syara’ berakhir atau habis masanya dengan berbagai hal sebagai
berikut.
b. Pembatalan
akad gadai dari pihak penggadai walaupun tanpa adanya restu dari pihak pegadai, dikarenakan hak gadai adalah milik
penggadai, sedangkan gadai dari jalur penggadai bersifat tidak mengikat.
c. Adanya
pelunasan semua hutang. Menurut ijma’ ulama, apabila hutang masih tersisa meski
sedikit, akad gadai belum berakhir. Hal ini sama seperti hak penahanan barang
yang diperjual belikan karena gadai merupakan jaminan semua bagian terkecil
dari hutang.
d. Binasa
atau rusaknya barang gadaian karena akad gadai akan berakhir karena hilangnya
objek akad atau tersia-sianya barang gadaian.
e.
Barang gadaian berubah menjadi barang yang tidak
lagi berharga, yakni sesuatu yang tidak mubah untuk diambil kemanfaatannya.
Sebagaimana contoh barang gadaian berupa perasan anggur, yang berubah menjadi arak
ketika sebelum jatuh tempo pelunasan, maka akad gadai menjadi batal seketika
bersamaan dengan berubahnya
barang gadaian itu.
K. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun (barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.[12]
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.
L.
Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dan
Konvensional
Persamaan
|
Perbedaan
|
a. Hak Gadai atas pinjaman uang
|
.a. Rahn dalam hukum islam
dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong sedangkan gadai menurut
hukum perdata, disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan
dengan cara menarik bunga atau sewa modal
|
b. Adanya jaminan sebagai jaminan
utang
|
.b. Dalam hukum perdata hak gadai
hanya berlaku pada benda yang bergerak, sedangkan dalam hukum islam , rahn
berlaku pada seluruh benda baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
|
c. Tidak boleh mengambil manfaat
barang yang digadaikan
|
.c. Dalam rahn tidak ada istilah
bunga
|
d. Biaya barang yang digadaikan
ditanggung oleh para pemberi gadai
|
.d. Gadai menurut hukum perdata
dilaksanakan melalui suatu lembaga yang diindonesia disebut perum pegadaian,
Rahn menurut islam dapat dilaksanakan tanpa lembaga.
|
e. Apabila batas waktu pinjaman uang
habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang
|
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Gadai
atau rahn adalah perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan
menyerahkan barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.
Dalam
islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada
Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan
ijma’. Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang
bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan
adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang
menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang
yang berakal dan baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang
pemanfaatan barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali
melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat
izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang
yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa
kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan
biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang
tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada
padanya.
Rahn tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum
pegadaian saja, namun juga praktik rahn ini telah diterapkan atau diaplikasikan
dalam perbankan syari’ah, tetapi bukan menjadi produk utama melainkan sebagai
pelengkap. Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn
ini adalah Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa
dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena
ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
Dalam transaksi gadai peluang untuk terjadinya riba
bisa terjadi jika rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah
ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan
harga marhun kepada rahin, maka hal tersebut termasuk riba.
Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu
apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat
membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya
boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum
yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin
hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun
lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin.
Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran keduanya.
B.
SARAN
Kami mempunyai saran agar para mahasiswa dan akademisi
lebih kritis lagi dengan pola gadai syariah yang kini telah ada sehingga bisa
memberikan kontribusi terhadap pengembangan dan lahirnya produk – produk
pembiayaan perbankan syariah yang sesuai dengan tuntutan jaman dan masyarakat
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
syafi’I Antonio. Bank Sariah dari Teori
ke Praktik, Jakarta : Gema Insani. 2001
Veithzal
Rivai H. Islamic financial managemen : teori, konsep dan aplikasi : panduan
praktis untuk lembaga keuangan, nasabah, praktisi, dan mahasiswa, Jakarta :
Raja Grafindo Persada. 2008
Prof. Dr.
Abdul Ghofur Anshori S.H. M.H. Perbankan
Syari’ah Di Indonesia,Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2007
Prof. Dr. H.
Zainuddin Ali M.A. Hukum Gadai Syari’ah,
Jakarta : Sinar Grafika. 2008
[1] . Zainuddin Ali. Hukum
Gadai Syari’ah, ( Jakarta : Sinar Grafika ). 2008 hal. 1
[2] Abdul Ghofur Anshori S.H. M.H. Perbankan Syari’ah Di Indonesia,( Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press). 2007. Hal. 157
[3]
Ibid, Zainuddin Ali, hal. 9
[4]
Ibid, Zainuddin Ali, hal. 5 – 8
[5] Veithzal Rivai H. Islamic financial managemen :
teori, konsep dan aplikasi : panduan praktis untuk lembaga keuangan, nasabah,
praktisi, dan mahasiswa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada). 2008. Hal. 190
[6] Muhammad syafi’I Antonio. Bank Sariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani). 2001.
Hal. 132
[7]
Ibid, Zainuddin Ali, hal. 8
[8]
Ibid, Zainuddin Ali, hal. 20 – 25
[9] Ibid,
Veithzal Rivai ,hal. 191
[10] http://srimulyanicha.blogspot.co.id/2012/05/pegadaian-syariah-rahn.html?view=classic
( diakses pada tanggal 18 mei 2016 )
[11]http://palmery.blogspot.co.id/2015/08/makalah-pegadaian-syariah.html
( diakses tanggal 19 mei 2016)
[12] http://armandrachmandd.blogspot.co.id/2015/06/hadits-gadai.html
0 Response to "Makalah Gadai Syariah"
Post a Comment