Makalah Prinsip Dasar Operasional Syari’ah - bertemu lagi dengan blog belajar tani sukses disini, kali ini saya membagikan makalah dasar operasional bank syariah yang tentunya hal inti dalam awal menjalankan lembaga keuangan syariah.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Bank Syari’ah dalam menjalankan usahanya tidak
dapat disisihkan dari konsep-konsep syari’ah yang mengatur produk
operasionalnya. Konsep dasasr syri’ah akan dijadikan pijakan dalam
mengembangkan produk bank syari’ah. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk
memberikan wacana mengenai konsep dasar syariah dalam mengembangkan bank
syari’ah.
Topik-topik yang dibahas dalam bab ini meliputi
: konsep dasar operasionalisai sistem bank syari’ah, prinsip-prinsip
operasional bank syari’ah, dan operasional produk bank syari’ah.
Bank syari’ah dengan sistem bagi hasil
dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan
berbagai hasil usaha antara : Pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan
uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudharib) dan masayarakat
yang membutuhkan dana. Pada sisi pengerahan dana masyarakat, shahibul mal
berhak atas bagi hasil dari usaha lembaga keuangan sesuai dengan porsi yang
telah disepakati bersama. Bank syari’ah selaku mudharib harus dapat mengelola
dana yang dipercayakan kepadanya dengan hati-hati dan memperoleh penghasilan
yang maksimal. Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagaian besar
pembiayaan Bank Islam disalurkan dalam bentuk barang dan jasa yang dibelikan
Bank Islam untuk nasabahnya
BAB II
PEMBAHASAN
Dasar Operasional Syari’ah
A.
Prinsip-Prinsip Dasar Operasional Syari’ah
Bank syari’ah dengan sistem bagi hasil
dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan
berbagai hasil usaha antara : Pemilik dana (shahibul mal) yang menyimpan
uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudharib) dan masayarakat
yang membutuhkan dana. Pada sisi pengerahan dana masyarakat, shahibul mal
berhak atas bagi hasil dari usaha lembaga keuangan sesuai dengan porsi yang
telah disepakati bersama. Bank syari’ah selaku mudharib harus dapat mengelola
dana yang dipercayakan kepadanya dengan hati-hati dan memperoleh penghasilan
yang maksimal. Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagaian besar
pembiayaan Bank Islam disalurkan dalam bentuk barang dan jasa yang dibelikan
Bank Islam untuk nasabahnya. Selain itu, prinsip perbankan syariah adalah
menekankan bahwa para pelaku ekonomi selalu menjunjung tinggi etika dan norma
hokum dalam kegiatanya , dengan dasar prinsip keadilan, menghindari kegiatan
yang dilarang dan memperhatikan aspek aspek yang bermanfaat. Dengan demikian
praktik bank syariah memperhatikan untuk menghindari praktik bunga. Dapat juga
di lihat secara jelas potensi manfaat keberadaan perbankan syariah di tujukan
bukan hanya untuk warga islam, melainkan seluruh umat manusia (rahmat lil
alamin).[1]
Secara garis besar, hubungan ekonomi
berdasarkan syari’ah Islam tersebut ditentukan oleh akad yang terdiri dari lima
konsep akad. Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan
produk-produk lembaga keuangan bank syari’ah untuk di operasionalkan.
1. Al-Wadiah atau
Depository ( Titipan/ Simpanan)
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau
simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi’ah. Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan sajasi penitip menghendaki.
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad
al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan
atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan
(karena faktor-faktor diluar batas kemampuan). Akan tetapi, dalam aktivitas
perekonomian modern, si penerima simpanan tidakmungkin akan meng-iedalkan aset
tersebut, tetapi mempergunakan dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karena ia
harus meminta izin dari pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya
tersebut dengan catatan ia menjamin akan megembalikan asset tersebut secara
utuh. Dengan demikian ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah
(tangan penangung) yang bertanggung jawab segala kehilangan/kerusakan yang
terjadi pada barang tersebut.dimana atas izin penitip dapat di gukan oleh bank,
dengan konsekuesi dari titipan tersebut apabila pihak bank memperoleh
keuntungan , maka keuntungan tersebut murni milik bank. Kemudian bank atas
kehendaknya tanpa perjanjian untuk memberikan bonus kepada nasabahnya. [2]]
2.
Bagi Hasil (Profit-Sharing)
a.
Al-Musyarakah (Partnership, Project Financing
Participation)
Al-Musyarakah
adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan konstribusi dana (mal/expertise) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dari resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Jenis-jenis
musyarakah ada dua : musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak).
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat, atau kondisi lainya yang
mengakibatkan pemilikan satu asset atau dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam suatu aset yang nyata dan
terbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.
Musyarakah akad
tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap
orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat terbagi
keuntungan dan kerugian..
Musyarakah akad
terbagi menjadi : al-inan, al-muwafadhah,al-mal, al-wujuh, dan al mudharabah,
apakah ini termasuk musyarakah atau bukan. Beberapa ulama mengangap
al-mudhrabah termasuk kategori al-musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat
sebuah akad atau kontrak musyarokah. Adapun ulama lain mengangap al-mudharabah
tidak termasuk sebagai al-musyarakah ini.
1.
Syirkah al-‘Inan, adalah
kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartipasi dalam kerja. Kedua pihak
terbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati diantara
mereka . Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun
kerja atau bagi hasil, tidak harus sama identik sesuai dengan
kesepakatan mereka. Mayoritas ulama memperbolehkan jenis ini.
2.
Syirkah al-Mufawadhah, adalah kontrak kerjasama
antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis
al-musyarakah ini adalah kesamaan dan yang diberikan, kerja, tanggung jawab,
dan beban utang dibagi masing-masing pihak.
3.
Syirkah A’mal, adalah al-musyrakah ini kontrak
kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan
berbagai keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya kerja sama duaorang arsitek
untuk menggarap suatu proyek, atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima
order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-musyarakah ini kadang-kadang
disebut musyarakah bdan atau sanaa’i.
4.
Syirkah Wujuh, adalah kontrak antara dua orang
atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli bisnis. Mereka
membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut
secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan
kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-musyarakah ini tidak
memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut.
Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
b.
Al-Mudharabah (Trust Financing, Trust
Invesment)
Al-Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara teknis al-mudharabah adalah
akad kerja sama usaha antara dua pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100%
mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pihak lainnya pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan adanya kecurangan atau kelalaian si
pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Jenis al-mudharabah ada dua, yaitu
1.
Mudharabah Mutlaqah,
adalah bentuk kerjasama antara shahibul mal dan
mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi
jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahsan fiqh ulama salafussaleh
sering kali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syita (lakukanlah sesukamu) dari
shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.
2.
Mudharabah Muqayyadah (restricted mudharabah/specifed
mudharabah, adalah
kebalikan dari
mudharabah muthalaqah. Si mudhrib dibatasi dengan
batasan jenis usaha,waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali
mencerminkan kecendrungan umum shahibul maal dan memasuki jenis usaha.
c.
Al-Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing)
Al-Muzara’ah
adalah kerjasama pengolahan pertanaian antara pemilik lahan dan penggarap,
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanaian kepada si penngarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagaian tertentu (persentase) dari hasil
panen[7]
Al-Muzara’ah
sering diedentikan dengan mukhabarah. Diantara keduanya sedikit perbedaan
sebagai berikut.
Muzara’ah :
Benih dari pemilik lahan.
Mukhabarah : Benih dari
penggarap.
Dalam konteks
ini lembaga keuangan Islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak
dalam bidang plantation atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen.
d.
Al-Musaqah(Plantation Management Fee Based On
Certain Portion Of Yield)
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana
dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan
pemeliharaan. Sebagai imbalan, si
penggarap berhak atas nisbah tertentu dari haisl panen.
a.
Bai’ Al-Murabahah (Deferent Payment Sale)
Bai’ al-Murabahah adalah jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuangan yang disepakati. Dalam Bai’ al-Murabahah,
penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah, dapat dilakukan dengan
pemesanan. Yang biasanya di disebut murabahah kepada pemesan pembelian.
b.
Bai’ as-Salam (In-Front Payment Sale)
Dalam pengertian yang sederhana, bai’ as-salam
bererti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan dimuka.secara terminologis, salam adalah transaksi trhadap sesuatun
yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan tempo dengan harga yang di berikan
kontan di tempat transaksi.di perbolehkannya slam dalam salah satu bentuk jual
beli memiliki syarat ketat yang harus di penuhi. Di antaranya adalah ;
1.
Pembeli harus membayar penuh barang yang di
pesan saat akad salam d tandatangani,
2.
Salam hanya di perbolehkan untuk jual beli
komoditas tang kualitas dan kuantitasnya dapat d tentukan.
3.
Salam tidak d perbolehkan untuk jual beli
produk dari lahan pertanian atau peternakan tertentu
4.
Dalam salam d sebutkan spesifikasi yang jelas,
tanpa keraguan .
5.
Tanggal penyerahan barang d sebutkan dalam
akad.
6.
Tidak dapat langsung d lakukan untuk barang
barang yang harus di serahkan langsung .
c.
Bai’ al-Istishna’ (Purcase By Order Or
Manufacture)
Transaksi bai’ al-Istisna’ merupakan kontrak
penjualan antara pembeli dan pembuat barang, Dalam kontrak ini pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain
untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan
menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta
sistem pembayaran : apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau
di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan dating.
4.
Sewa (Opearational Lease and Financial Lease 0
a.
Al-Ijarah
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepimilikan (ownership/milikiyah) atas barang itu sendiri.
b.
Al-Ijarah al-Muntahia Bit-Tamlik (Financial
Lease With Purchase Option)
Transaksi yang disebut dengan al-Ijarah
al-Muntahia Bit-Tamlik (IMB) adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli
dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepimilikan barang
ditangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan
dengan ijarah biasa.
Memiliki banyak bentuk, bergantung apa yang
disepakati kedua pihak yang berkontrak. Misalnya, al-Ijarah dan janji menjual;
nilai sewa yang mereka tentukan dalam ijarah ; harga barang dakam transaksi
jual ; dan kepemilikan dipindahkan.
5.
Jasa (Fee-Based Service)
a.
Al-Wakalah
Wakalah atau wikalah berarti penyerahan,
pendelegasian, atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami
sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat “Aku urusanku kepada Allah” mewakili
pengertian istilah tersebut. Akan tetapi yang dimaksud sebagai wakalah dalam
pembahasan bab ini adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain
dalam hal-hal yang diwakilkan.
Aplikasi wakalah dalam penyaluran dana di
perbankan terjadi apabila nasabah memberiakn kuasa terhadap bank untuk mewakili
dirinya melakukan jasa tertntu seperti inkaso dan transfer uang.
b.
Al-Kafalah
Al-Kafalah adalah merupakan jaminan yang
diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang di tanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada
tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
c.
Al-Hawalah
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang wajib menganggunya. Dalam istilah para
ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yan berutang)
menjadi tangguhan muhail alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. Hawalah
dalam perbankan biasanya diterapkan pada ;
1.
Factoring atau anjungan utang , yaitu nasabah
yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang tersebut kepada
bank, lalu bank membayar piutang tersebut dan bank menagih pada pihak ketiga.
2.
Post dated check, yaitu bank bertidak sebagai
juru tagih tanpa membayar dulu piutang tersebut.
d.
Ar-Rahn (Mortage)
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik
si peminjam sebagi peminjaman atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang
ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau bagaian
piutangnya. Seacara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam
jaminan untuk gadai.
e.
Al-Qard ( Soft and Benevolent Loan)
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang
lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh
dikatogerikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan trnsaksi
komersial. Dalam aplikasinyaal qard di gunakan sebagai pinjaman talangan haji,
pinjaman tunaidari produk kartu kredit syariah.
B.
Produk Operasional Bank Syari’ah
1.
Produk Pendanaan ( funding )
Produk pendanaan bank syaria’ah ditunjukan
untuk mobilitasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan
cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak.
Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas mengutuk
penimbunan tabungan dan menuntut pengunaan dan secara produktif dalam rangka
mencapai tujuan ekonomi Islam. Dalam hal ini, bank syari’ah tidak dengan
prinsip bunga ( riba ), melainkan dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan
syari,at Islam. Prinsip-prinsip tersbut antara lain.
a.
Pendanaan dengan Prinsip Wadi’ah
1.
Giro Wadi’ah
Giro wadi’ah adalah produk pendanaan bank
syari’ah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening giro ( current
acount ) untuk keamanan dan kemudahan pemakainya. Karekteristik giro wadi’ah
ini mirip dengan giro pada bank konvensional, ketika kepada nasabah penyimpanan diberi
garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan mengunakan berbagai
fasilitas yang disediakan bank, seperti : cek, bilyet giro, kartu ATM , atau
dengan mengunakan saran perintah lainnya dengan cara pemindahbukuan tanpa
biaya. Bank boleh mengunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari
keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek atau untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik. Biasanya bank tidak
mengunakan dana itu untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang
jangka pendek.Keuntungan yang diperoleh
bank dari pengunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga, kerugian yang
timbul menjadi tanggung jawab sepenuhnya. Bank diperbolehkan untuk memberikan
insentif berupa bonus kepada nasabah, selama ini tidak disyaratkan sebelumnya.
Besarnya bonus juga tidak ditetapkan dimuka.
2.
Tabungan Wadi’ah
menurut undang undang
perbankan syariah no 21 tahun 2008, tabungan adalah simpana berdasarkan akad
wadiah atau investasi dana berdasarkan mudhorobah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikanya dapat d lakukan menurut
syarat dan ketentuan yang d sepakati, tetapi tdak dapat ditarik dengan cek,
giro.[3]
Tabungan wadi’ah adalah
produk pendanaan bank syari’ah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk
rekaning tabungan (savings acaount) untuk keamanan dan kemudahan pemakainya,
seperti giro wadi’ah tetapi tidak sefleksibel giro wadi’ah, karena nasabah
tidak dapat menarik dannya dengan cek. Karekteristik tabungan wadi’ah ini juga mirip
dengan tabungan pada bank konvensional ketika nasabah penyimpan diberi garansi
untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan mengunakan berbagai fasilitas
yang disediakan bank, seperti kartu ATM, dan sebagainya tanpa biaya. Seperti
halnya giro wadi’ah, bank juga boleh megunakan dana nasabah yang terhimpun
untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek atau untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik.
Biasanya bank dapat
mengunakan dana ini lebih leluasa dibandingkan dengan dari giro wadi’ah, karena
sifat penarikannya yang tidak sefleksibel giro wadi’ah, sehingga bank mempunyai
kesempatan lebih besar untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, bonus
yang diberikan oleh bank kepada nasabah tabungan wadi’ah lebih besar daripada
bonus yang diberikan oleh bank kepada nasabah giro wadi’ah. Besarnya bonus juga
tidak dipersyaratkan dan tidak ditetapkan dimuka.
b.
Pendanaan dengan Prinsip
Qard
Simpanan giro dan tabungan
juga dapat mengunakan prinsip qard, ketika bank dianggap sebagai penerima
pinjaman tanpa bunga dari nasbah deposan sebagai pemilik modal. Bank dapat
memanfaatkan dana pinjaman dari nasabah deposan untuk tujuan kegiatan produktif
mencari keuntungan. Sementara itu, Nasabah deposan dijaminkan memperoleh
dananya secara penuh, sewaktu waktu nasabah ingin menarik dananya. Bank boleh
juga memberikan bonus kepada nasabah deposan, selama hal ini tidak disyaratkan
diawal perjanjian.
c.
Pendanaan Prinsip Dengan
Mudharabah
1.
Tabungan Mudharabah
Bank syari’ah menerima
simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (saving acount) untuk
keamanan dan kemudahan pemakaian, seperti rekening giro, tetapi tidak
sefleksibel rekening giro, karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan
cek. Prinsip yang digunakan berupa : wadi’ah
(titipan), qard (pinjaman kebajikan),dan mudharabah (bagi
hasil).
2.
Deposito / Investasi Umum
(Tidak Terikat
deposito menurut undang
undang perbankan syariah no 21 2008 adah investasi dana berdasarkan akad
mudhorobah atau akad lain yang bertentangan dengan prinsip syaria, yang
penariknnya hanya di lakukan pada waktu ntertentu berdasarkan akad antara
nasabah penyimpan dan bank syariah atau unit usaha syariah.[4]
Bank syari’ah menerima
simpamnan deposito berjangka (pada umunya untuk satu bulan ke atas) ke dalam
rekening investasi umum ( general investement account) dengan prinsip
mudharabah al-Muthalaqah. Investasi umum sering disebut juga sebagai investasi
tidak terikat. Nasabah rekening investasi lebih bertujuan untuk mencari
keuntungan daripada untuk mengamankan uangnya. Bank sebagai mudharib mempunyai
kebebasan mutlak dalam pengelolaan investasinya. Jangka waktu investasi dan
bagi hasil disepakati bersama. Apabila bank menghasilkan akan dibagi sesuai
kesepakatan awal. Apabila bank mengalami kerugian, bukan karena kelalaian bank,
kerugian titanggung oleh nasabah deposan sebagai shahibul maal. Deposan dapat
menarik dananya dengan pemberitahuan terlebih dahulu.[17]
3.
Deposito/Investasi Khusus
(Terikat)
Selain rekening investasi
umum, bank syari’ah menawarkan rekening investasi khusus (special investement
account) kepada nasabah yang ingin menginvestasikan dananya langsung dalam
proyek yang disukainya yang dilaksanakan oleh bank dengan prinsip mudharabah
al-muqayadah. Rekening investasi khusus ini di tunjukkan kepada para nasabah
atau investor besar dan institusi. Dalam mudharabah al-muqayadah bank
menginvestasikan dana nasabah ke dalam proyek tertentu yang di inginkan
nasabah. Jangka waktu investasi dan bagi hasi disepakati bersama dan hasilnya
langsung berkaitan dengan keberhasilan proyek investasi yang dipilih.[18]
4.
Sukuk Al-Mudharabah
Akad mudharabah juga dapat
dimanfaatkan oleh bank syari’ah untuk menghimpun dana dengan menertibkan sukuk
yang merupakan obligasi syri’ah. Dengan obligasi syari’ah, bank mendapatkan
alternatif sumber dana berjangka panjang (lima tahun atau lebih) sehingga dapat
digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan berjangka panjang.
d.
Pendanaan Prinsip Ijarah
Akad ijarah dapat
digunakan oleh bank syariah untuk menghimpun dana dengan menertibkan sukuk yang
merupakan obligasi syri’ah. Dengan obligasi syri’ah, bank mendapatkan
alternatif sumber dana berjangka panjanag (lima tahun atau lebih) sehingga
dapat digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan berjangka panjang. Obligasi syriah
ini dapat mengunakan beberapa prinsip yang di bolehkan syari’ah, seperti :
mengunakan prinsip bagi hasil (
al-Mudharabah dan al-Musyarakah), mengunakan prinsip jual beli (
al-Mudharabah , al-Salam, dan al-Isthisna), mengunakan prinsip sewa ( al Ijarah), dan sebagainya.
Penerbit sukuk melibatkan
empat pihak, yaitu pemilik aset, penyewa, investor, dan special purpose
vehichle. Pemilik Aset adalah Pihak yang mencari
pendanaan. Dalam hal ini bank syari’ah adalah pihak pemilik aset tersebut. Penyewa
adalah pihak yang menyewa aset. Pihak investor adalah pihak yang membeli
sertifikat sukuk al-Ijarah. Special Purpose Vehicle atau SPV adalah institusi
yang khusus di dirikan dalam rangka penerbitan sukuk. Pemilik aset dan penyewa
pada umumnya satu institusi yang sama dan biasa disebut sebagai penerbit atau
issuer.
2.
Produk Pembiayaan ( financing )
Pembiayaan financing adalah pendanaan yang di
berikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi baik
individu maupun lembaga .
Menurut undang undang no 21 2008 tentang
perbankan syariah, pembiayaan adalah penyediaan danaatau tagihan yang di
persamakan dengan itu, berupa transaksi bagi hasil,sewa menyewa , jual beli,
pinjaman, maupun jasa.[5]
a.
Pembiyaan modal kerja
Pembiyaan modal kerja
dapat dipenuhi dengan berbagai cara, antara lain :
1.
Bagi hasil
Dengan bagi hasil,
kebutuhan modal kerja pihak pengusaha terpenuhi, sementara kedua pihak
mendapatkan manfaat dari pembagian resiko yang adil. Agar bank syariah dapat
berperan aktif dalam usaha mengurangi resiko, seperti modal hazard, maka bank
dapat memilih untuk mengunakan akad musyrakah. Kebutuhan modal kerja usaha
sangat beragam, seperti untuk membayar tenaga kerja, rekening listrik dan air,
bahan baku, dan sebagainya, dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil
dengan akad mudharabah dan musyarakah. Sebagai contoh,
usaha rumah makan, usah bengkel, dan lain-lain.
2.
Jual Beli
Kebutuhan modal kerja usaha perdagangan untuk
membiayai barang dagangan dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual-beli
dengan akad mudharabah. Dengan berjual beli, kebutuhan modal pedagang terpenuhi
dengan harga tetap, sementara bank syari’ah mendapat keuntungan margin tetap
dengan meminimalkan resiko.
Kebutuhan modal kerja usaha kerajinan dan
produsen kecil dapat juga dipenuhi dengan akad salam. Dalam hal ini, bank
syari’ah menyuplai mereka dengan input produksi seperti modal salam yang
ditukar dengan komoditas mereka untuk dipasarkan kembali.
b.
Pembiyaan Investasi
Kebutuhan pembiayaan
investasi dapat dipenuhi dengan berbagai cara, antara lain :
1.
Bagi Hasil
Kebutuhan investasi secara
umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah
atau musyarakah. Bank syari’ah dan pebgusaha berbagi usaha yang
saling menguntungkan dan adil. Agar bank syari’ah dapat
berperan aktif dalam kegiatan usaha mengurangi kemungkinan resiko.
2.
Jual beli
Kebutuhan investasi
sebagainya juga dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola jual beli dengan akad
mudharabah. Dengan cara ini bank syari’ah mendapatkan keuntungan margin jual
beli dengan resiko minimal. Sementara itu, pengusaha mendapatkan kebutuhan
investasinya dengan perkiraan biaya yang tetap dan mempermudah perencanaan.
Kebutuhan investasi yang memerlukan waktu untuk membangun juga dapat dipenuhi
dengan akad isthisna. Selain itu akad isthisna juga dapat di aplikasikan dalam
industri kontruksi.[24]
3.
Sewa
Kebutuhan investasi
seperti ini dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola sewa dengan akad ijarah
atau ijarah muntahiya bi tamlik. Dengan cara ini bank syri’ah dapat mengambil
manfaat dengan menguasai kepemilikan aset dan pada waktu yang sama menerima
pendapatan dari sewa. Penyewa juga mengambil manfaat dari skim ini dengan
terpenuhinya kebutuhan investasi yang mendesak dan mencapai tujuan dalam waktu
yang wajar tanpa harus mengeluarakan biaya modal yang besar.[25]
c.
Pembiayaan aneka Barang,
Perumahan, dan Properti
Kebutuhan pembiyaan aneka
barang dapat dipenuhi dengan berbagai cara antara lain :
1.
Bagi hasil
Kebutuhan barang konsumsi,
perumahan, atau properti, dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil
dengan akad musyarakah mutanaqisah. Dengan cara ini bank syari’ah dan nasabah
bermitra untuk membeli aset yang diinginkan nasabah. Aset tersebut kemudian
disewakan kepada nasabah. Bagaian sewa dari nasabah digunakan sebagai cicilan
pembelian porsi aset yang dimilki oleh bank syari’ah, sehingga pada periode
waktu tertentu (jatuh tempo) , aset tersebut di miliki oleh nasabah.[26]
2.
Jual beli
Kebutuhan barang konsumsi,
perumahan, atau properti, apa saja secara umum dapat dipenuhi dengan
pembiayaan berpola jual beli dengan akad mudharabah. Dengan akad ini bank
syari’ah memenuhi kebutuhan nasabah dengan membelikan aset yang dibutuhkan
nasabah dari supplier kemudian menjual kembali kepada nasabah dengan mengambil
margin keuntungan yang di inginkan. Selain mendapat
keuntungan margin, bank syari’ah juga memegang resiko yang minimal. Sementara
itu, nasabah mendapatkan kebutuhan asetnya dengan harga yang tetap. [27]
3.
Sewa
Kebutuhan barang konsumsi,
perumahan, atau properti, juga dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola sewa
dengan akad ijarah muntahiya bi tamlik. Dengan akad ini bank syari’ah membeli
aset yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakannya kepada nasabah dengan
perjanjian pengalihan kepemilikan di akhir periode dengan harga yang disepakati
di awl akad. Denagn cara ini bank syari’ah tetap menguasai kepemilikan aset
selama periode akad dan pada waktu yang sama menerima pendapatan dari sewa.
Sementara itu, nasabah terpenuhinya kebutuhannya dengan biaya yang dapat
diperkirakan sebelumnya.[28]
3.
Akad Pelengkap
Akad pelengkap
dikembangkan sebagai akad pelayanan jasa. Akad ini dioperasionalkan dengan pola
sebagi berikut
a.
Alih Utang-Piutang
(Al-Hiwalah), transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek perbankan
fasilitas hiwalah lazimnya digunakan untuk membantu suplier mendapatklan modal
tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti atas jasa
pemindahan piutang.
b.
Gadai (Rahn), untuk
memberikan jaminan pembayaran kembali pada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memnuhi kriteria : (a) Memiliki nasabah sendiri,
(b) Jelas ukuran, sifat dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
dan (c) Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
c.
Al-Qardh, pinjaman
kebaikan. Al-Qardh digunakan untuk membantu keuangan ansabah secara cepat dan
berjangka pendek. Produk ini digunaka untuk membantu usaha kecil dan keperluan
sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat infaq dan shadaqah.
d.
Wakalah. Nasabah memberi
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tetentu,
seperti : Transfer, dsb.
e.
Kafalah, bank garansi digunakan untuk meminjam
pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat pula menerima dana tersebut
dengan prinsip wadi’ah. Bank dapat diganti biaya atas jasa yang diberikan.
BAB III
PENUTUP
Makalah Prinsip Dasar Operasional Syari’ah
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa keberadaan lemaga keuangan dalam Islam adalah vital karena
kegiatan bisnis dan roda ekonomi tidak akan berjalan tanpanya. Untuk
mendapatkan persepsi yang jelas tentang konsep Islam dan keuangan, khususnya
bank, kita dapat memahami prinsip-prinsip dan produk-produk operasional bank
syari’ah. Diantara produk produjnya lembaga stariah megutamakn kesejahteraan
umat, bahkan tidak hanya umat islam. Dengan prinsip keadilannya.
B. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya
tulis. Semoga dapat bermanfaat
bagi kita semua. Dan hanya Allah Swt. Yang memiliki kesempurnaan dan kekurangan
itu milik kami. Kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari semua pihak
untuk perbaikan makalah ini.
0 Response to "Makalah Prinsip Dasar Operasional Syari’ah"
Post a Comment