Makalah Kafalah Dalam Fiqih Muamalah

Makalah Kafalah Dalam Fiqih Muamalah | https://belajartanisukses.blogspot.com kali ini berbagi materi kafalah, yang pada intinya di setiap pembiayaan bank islam pasti akan di bahas rinci tentang materi ini. langsung saja share makalahnya di bawah ini.

Makalah Kafalah

Makalah Kafalah

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam dunia usaha, modal merupakan sesuatu yang penting.Modal tersebut dapat bersifat material, atau immaterial (skill, trust, dan sebagainya). Untuk memenuhi kebutuhan modal, seorang pengusaha bisa menggunakan modal sendiri atau meminjam kepada pihak lain seperti bank dengan akad qardhun. Untuk melakukan pinjaman tersebut biasanya diperlukan beberapa syarat, di antaranya kelayakan usaha, adanya kepercayaan (trust), dan adanya jaminan.
Berkaitan dengan jaminan ini, dapat dibedakan dalam jaminan perorangan (personal guarantie) dan jaminan kebendaan.Jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) dengan seorang pihak ketiga sebagai penjamin (kafil) yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang/debitor (makful ‘anhu). Jaminan ini bahkan dapat diadakan di luar atau tanpa sepengetahuan  si berhutang tersebut (debitor). Sedangkan jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditor (pemberi hutang) dengan debitornya (Peminjam), tetapi juga dapat diadakan antara kreditor dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban
-kewajiban si berhutang (debitor). Soal jaminan, sebagaimana tersebut di atas, di dalam ajaran Islam dikenal dengan konsep kafalah yang termasuk juga di dalam jenis dhamman (tanggungan). Untuk itu kami disini akan membahas dan mengupas tentang Kafalah.

BAB II
PEMBAHASAN

Makalah Kafalah Dalam Fiqih Muamalah


A.    Pengertian Al-Kafalah
Al-Kafalah secara etimologi memiliki tiga makna yaitu الضمان  (jaminan), الحمالة  (beban), dan الزعامة  (tanggungan), namun secara menyeluruh ketiga kata ini memiliki garis pengertian yaitu jaminan.
Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "Menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang”. Definisi lain adalah, "Jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga­ yaitu pihak yang memberikan hutang/kreditor (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yaitu pihak yang berhutang/debitoratau yang ditanggung (makful ‘anhu, ashil)”.
Kafalah adalah Akad dari pihak pertama dan pihak kedua dapat berupa perjanjian yang mengikat dimana tidak dapat dibatalkan secara sepihak, pihak penjamin tersebut bisa mendapatkan imbalan dari pihak yang tertanggung selagi tidak memberatkan pihak tertanggung. Hal ini sesuai dengan fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah.
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, Kafalah identik dengan kafalah al-wajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk barang/harta benda.[1][1][1]
Dalam buku “Ekonomi Syariah Versi Salaf “ Kafalah memilki definisi secara lebih terssusun dan jelas sebagai kesanggupan untuk memenuhi hak yang telah menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan untuk mendatangkan barang yang ditanggung atau untuk menghadirkan orang yang mempunyai kewajiban terhadap orang lain. [2]Dalam buku Ekonomi Syariah Versi Salaf  itu juga kembali disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu :
a.       Kafalah adalah akad yang mengandung kesanggupan seseorang untuk menngganti atau menanggung kewajiban hutang orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya.
b.      kafalah sebagai akad yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang untuk menanggung hukuman yang seharuasnya diberikan kepada sang terhukum dengan menghadirkan dirinya atau disebut juga sebagai kafalah An Nafs
c.       kafalah yang tertuang di dalamnya tentang kesanggupan seseorang dalam mengembalikan ‘ain madhmunah peda orang yang berhak.

B.     Dasar Hukum
1.      Al-Qur’an
“Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." (Surah Yusuf : 72 )
Dalam tafsir Aisarut Tafasir disebutkan bahwa Para pembantu raja menjawab, "Kami sedang mencari bejana tempat minum raja. Kami akan memberikan hadiah bagi orang yang menemukannya berupa makanan seberat beban unta." Pemimpin mereka pun menyatakan dan menegaskan hal itu dengan berkata, "Aku menjamin janji ini."
Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan za’im dalam ayat ini adalah kafiil penjamin.

2.      Hadits
Jabir bin Abdullah ra. Berkata:
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ )  رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ



“Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali.Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim”.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan disebutkan bahwa utangnya tiga dinar.Di dalam riwayat Ibn Majah dari Abu Qatadah, ia ketika itu berkata, “Wa anâ attakaffalu bihi (Aku yang menanggungnya).” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw. menshalatkannya. Saat bertemu Abu Qatadah Rasul saw. bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?” Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al-Hakim).[3][6][7]

3.      Ijma’ Ulama
Para ulama madzhab membolehkan akad kafalah ini. Orang-orang Islam pada masa Nubuwwah mempraktekkan hal ini bahkan sampai saat ini, tanpa ada sanggahan dari seorang ulama-pun. Kebolehan akad kafalah dalam Islam juga didasarkan pada kebutuhkan manusia dan sekaligus untuk menegaskan madharat bagi orang-orang yang berhutang.
Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang tidak dirugikan dengan ketidak mampuan orang yang berutang. Hanya saja, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Perlu diketahui, kafalah yang dilakukan dengan  niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah yang berbuah pahala.


C.    Rukun Kafalah
Seperti halnya amalan yang lain dalam muamalah, dalam kafalah pun mempunyai rukun dan syarat, rukun kafalah adalah bagian-bagian yang harus ada dalam praktek kafalah, sedangkan syarat kafalah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh semua pihak dan objek agar syah atau diterima oleh syariat praktek kafalah tersebut. Adapun Rukun dan Syarat adalah sebagai berikut.
1.      Rukun
a.       Sighat Kafalah (ijab qabul), adalah kata atau ucapan yang harus diucapkan dalam praktek kafalah
b.      Makful bih (obyek tanggungan), adalah barang atau uang yang digunakan sebagai tanggungan.
c.       Kafil (penjamin/penanggung), adalah orang atau barang yang menjamin dalam hutang atau uang sipeutang.
d.      Makful’anhu (tertanggung), adalah Pihak atau Orang yang Berpiutang.
e.       Makful lahu (Penerima tanggungan), adalah Pihak Orang yang berutang.

2.      Syarat
a.       Sighat diekspresikan secara konkrit dan jelas’
b.      Makful bih (Obyek tanggungan) bersifat mengikat terhadap tertanggung dan tdk bisa dibatalkan secara syar’i.
c.       Kafil : seorang yang berjiwa filantropi (suka berbuat baik demi kemaslahatan orang lain).
d.      Makful’ :anhu ada kemampuan utk menerima obyek tanggungan baik atas dirinya atau yang mewakilinya. Makful ‘anhu harus dikenal baik oleh kafil.
e.       Makful lahu juga harus dikenal dengan baik oleh kafil.

D.    Macam – Macam Kafalah
Secara sederhana, Kafalah adalah tanggungan yang di berikan oleh pihak ke tiga atas hutang pihak ke dua kepada pihak ke tiga. Namun ternyata dalam prakteknya kafalah memliki lima macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Kafalah bil Mal
Jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang. Bentuk kafalah ini merupakan sarana yang paling luas bagi bank untuk memberikan jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan/fee tertentu.
2.      Kafalah bil Nafs
Jaminan atas diri seseorang karena nama baik atau ketokohannya. Dalam hal ini, bank dapat bertindak sebagai Juridical Personality  yang dapat memberikan jaminan untuk tujuan tertentu.
3.      Kafalah bit Taslim
Jaminan pengembalian atas barang yang disewa, ketika batas sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk keperluan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan, leasing company. Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan, dan pihak bank diperbolehkan memungut uang jasa/fee  kepada nasabah tersebut.
4.      Kafalah al-Munjazah
Jaminan mutlak yang tdk dibatasi oleh jangka waktu dan utk kepentingan/tujuan tertentu, Dalam dunia perbankan, kafalah model ini dikenal dengan bentuk performance bond  (jaminan prestasi).
5.      Kafalah al-Muallaqah
Jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, di mana jaminan dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan tujuan tertentu pula.

E.     Fatwa DSN Tentang Kafalah
Ketentuan hukum dalam fatwa DSN MUI no. 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang kafalah ini adalah sebagai berikut :
Pertama     : Ketentuan Umum Kafalah
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.      Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.      Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

Kedua         : Rukun dan Syarat Kafalah
1.      Pihak Penjamin (Kafiil)
a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak Orang yang berutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.      Dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.       Diketahui identitasnya.
b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.       Berakal sehat.
4.      Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.       Merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.       Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).

Ketiga        : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

F.     APLIKASI KAFALAH DI LKS
1.      Kafalah Bin-Nafs
Contoh : Seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2.      Kafalah Bit-Taslim
Jenis pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (Leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah.
3.      Kafalah Al-Munjazah
Pemberian jaminan dalam bentuk Performance bonds “ Jaminan Prestasi”, suatu yang lazim dikalangan perbankan dan hal ini sesuai dengan bentuk akad.
4.      Bank Garansi
Jaminan pembayaran yang diberikan oleh bank kepada suatu pihak, baik perorangan, perusahaan, badan, atau lembaga keuangan lainnya dalam bentuk surat jaminan. Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
5.      Syari’ah Card
Kafalah dapat diaplikasikan dalam syari’ah card di samping menggunakan akad qard, ariyah atau ijarah. Kafalah dalam hal penerbit kartu adalah penjamin (Kafil) bagi pemegang kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank penerbit kartu.
6.      Pembukaan L/C (Letter of Credit) Impor
Menimbulkan kewajiban bagi issuing bank untuk melakukan pembayaran kepada beneficiary (eksportir/penjual), karena issuing (bank pembuka L/C) bank mengambil alih kewajiban importir untuk membayar barang yang dibayar kepada eksportir. Untuk itu issuing bank akan meminta jaminan pembukaan L/C dari importir yang berupa setoran Marginal Deposit/MD.
7.      Stanby L/C
Suatu janji tertulis bank yang bersifat irrevocable (tidak dapat dibatalkan) yang diterbitkan atas permintaan pemohon untuk membayar kepada beneficiary (eksportir/penjual) atau bank yang mewakili beneficiary untuk melakukan penagihan, apabila dokumen yang diserahkan telah sesuai dengan persyaratan dokumenyang tercantum dalam stanby L/C. Dengan demikian stanby L/C ini dapat berfungsi sebagaimana layaknya garansi maupun L/C dimana pemegang jaminan akan mendapat pembayaran dari bank sepanjang sesuai persyaratan stanby L/C.
8.      Asuransi Syari’ah (Takaful)
Perusahaan asuransi merupakan pihak penanggung atau penjamin, sedangkan peserta asuransi adalah pihak tertanggung atau yang dijamin. Sehingga dalam suatu asuransi terdapat perjanjian antar kedua belah pihak, dimana pihak yang terjamin diwajibkan membayar premi asuransi dalam masa tertentu, lalu pihak menjamin akan mengganti kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.

G.    Berakhirnya Kafalah
Akad kafalah berakhir apabila (Nuryadi, 2008) :
1.      Hutang telah lunas, baik makful anhu maupun kafil.
2.      Makful lahu menghapus piutangnya kepada makful anhu.
3.      Apabila salah satu ingkar: umpamanya melakukan wanprestasi agar kafil membayar hutangnya kepada makful lahu.
4.      Batas tanggal berakhirnya masa klaim bank garansi telah melampaui tanpa ada klaim dari penerima bank garansi.
5.      Terjadinya cacat hukum
6.      Adanya penyataan dari penerima garansi tentang pelepasan hak klaim atas bank garansi yang bersangkutan.
7.      Dikembalikannya bank garansi asli kepada kafil atau bank garansi tersebut hilang.

H.    Macam-macam Orang Yang Dapat Ditanggung
Mengenai siapa orang-orang yang dapat ditanggung, para ulama fikih menyatakan,bahwa pada dasarnya setiap orang dapat menerima jaminan/tanggungan tersebut. Merekahanya berbeda pendapat mengenai orang yang sudah wafat (mati) yang tidak meninggalkanharta warisan.[4] Menurut pendapat Imam Malik dan Syafii, hal yang demikian bolehditanggung. Alasannya adalah dengan berpedoman pada Hadis tersebut di atas tentangketidaksediaan Nabi SAW. menshalatkan jenazah karena meninggalkan sejumlah hutang.Sedangkan Imam Hanafi menyatakan tidak boleh, dengan alasan bahwa tanggungantersebut tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada. Berbeda halnya dengan orangyang pailit.
Jumhur fuqaha juga berpendapat tentang bolehnya memberikan tanggungan kepada orangyang dipenjara atau orang yang sedang dalam keadaan musafir. Tetapi Imam Abu Hanifahtidak membolehkannya

I.       Masa Tanggungan
Masa tanggungan dengan harta, yakni masa penuntutan kepada penanggung adalahdimulai sejak tetapnya hak atas orang yang ditanggung, baik berdasarkan pengakuannyamaupun saksi, demikian pendapat fuqaha. Kemudian fuqaha bersilang pendapat tentang masa wajibnya tanggungan denganbadan, apakah tanggungan tersebut menjadi wajib sebelum tetapnya hak atau tidak?.Segolongan fuqaha berpendapat, bahwa tanggungan itutidak menjadi wajib sebelumtetapnya hak. Pandangan ini dipegangi oleh golongan Imam Malik, Syuraih al-Qadhi danal-Syabi. Segolongan lainnya berpendapat, bahwa untuk menetapkan hak tersebut harusada konfirmasi dengan pihak penanggung (dengan badan) dan ia memang bersedia menjadipenanggung. Selanjutnya, kapan pengambilan hak itu terjadi atau kapankahpengambilan hak itu menjadi wajib, dan sampai kapan waktunya?, Sebagian fuqahaberpendapat bahwa apabila debitur dapat menyampaikan bukti-bukti yang kuat atausaksi misalnya, maka ia harus memberikan penanggung (dengan badan),sehingga terlihat haknya. Jika tidak demikian, maka tidak ada keharusan memberipenanggung. Apabila ia ingin juga mengambil penanggung dengan berupaya menghadirkansaksi, maka ia diberikan tempo selama 5 (lima) hari kerja untuk maksud tersebut,yakni masa penanggung memberikan tanggungan. Ini pendapat Ibn al-Qashim dari kalanganmadzhab Maliki. Fuqaha Irak berpandangan, bahwa tidak dapat diambil penanggung atas debitursebelum tetapnya hak. Sependapat dengan Ibn al-Qashim, mereka memberikan waktu hanya 3(tiga) hari. la menambahkan, bahwa tidak boleh diambil penanggung atas seseorang kecualidengan adanya saksi. Dengan demikian akan tampak jelaspengakuannya itu benar atau tidakbenar. Apabila keadilan antara kedua belah pihak dalam masalah ini akanditegakkan, maka keberadaan saksi mutlak diperlukan, baik kesaksian atas beban (hutang)debitur maupun kesaksian atas diambilnya tanggungan oleh pihakpenanggung. Ini memudahkan pihak Kreditur dalam melakukan tindakan-tindakan ke depan,apabila diperlukan.

J.      Kewajiban Penanggung
Apabila orang yang ditanggung tersebut bepergian jauh atau"menghilang", bagaimanakah tanggung jawab orang yang menanggung?. Dalam hal ini adatiga pendapat, sebagai berikut: Penanggung wajib mendatangkan (menemukan) orang yang ditanggung,atau mengganti kerugian. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik beserta pengikutnya danfuqaha Madinah. Bahwa penanggung dipenjarakan, sehingga orang yang ditanggung telahdatang, atau kalau dia wafat, telah diketahui kewafatannya. Ini pandangan ImamAbu Hanifah dan fuqaha Irak. Bahwa penanggung tidak terkena kewajiban apapun termasukdipenjarakan, kecuali ia harus mencarinya/mendatangkannya, jika ia mengetahuitempatnya. Ini pendapat Abu ‘Ubaid al-Qasim. Pendapat Imam Malik yang mengatakan, bahwapenanggung harus menanggung kerugian atas orang yang ditanggung apabila ia pergi,didasarkan pada Hadis Ibnu Abbas r.a. sebagai berikut: "Sesungguhnya seorang laki-lakimeminta kepada debiturnya agar memberikan hartanya kepadanya, lalu ia memberikanpenanggung kepadanya, tetapi ia tidakmampu, sehingga orang tersebut mengadukannyakepada Nabi SAW. Maka Rasulullah SAW. pun menanggungnya, kemudian debiturmemberikan harta kepadanya. " Mereka mengatakan, bahwa Hadis ini menunjukkan adanya penggantian kerugiansecara mutlak. Berbeda dengan fuqaha Irak yang berpandangan bahwa, penanggunghanya berkewajiban menghadirkan apa yang ditanggungnya, yakni orang (yangditanggungnya). Karenanya, penanggungan tersebut tidak harus menyertakan harta, kecualiapabila penanggungan tersebut memang disyaratkan demikian atas dirinya. Selanjutnya, Imam Malik berpendapat bahwa, apabila seseorang mensyaratkantanggungan (badan) tanpa harta, sedangkan iapun menjelaskan syarat tersebut, maka hartatersebut tidak wajib atasnya. Karena apabila harta tersebut menjadi beban kewajibannya,berarti ia melakukan perbuatan yang melawan apa-apa yangdisyaratkannya itu. Berbeda dengan tanggungan harta, fuqaha telah sepakat bahwa, apabila orang yang ditanggung tersebutmeninggal atau pergi, maka penanggung harus mengganti kerugian. Tentang pandangan yang membolehkan kreditur menuntut penanggung, baik yangditanggung itu bepergian atau tidak, kaya atau miskin, maka mereka beralasan dengan HadisQubaishah Ibn al-Makhariqi r.a. sebagai berikut: "Aku membawa satu tanggungan, maka akumendatangi Nabi SAW. kemudian aku bertanya kepada beliau tentang (tanggunganitu). Maka beliau bersabada: "Kami akan mengeluarkan tanggungan itu atas namamudari onta sedekah. Hai Qubaishah! sesungguhnya perkara ini tidak halal, kecuali padatiga hal". Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang laki-laki yang membawa suatutanggungan dari laki-laki lain, sehingga ia melunasinya ". Hadis tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa, Nabi SAW.membolehkan penuntutan terhadap penanggung, tanpa mempertimbangkan kondisi orangyang ditanggung.

K.    Obyek Tanggungan
Mengenai obyek tanggungan, menurut sebagian besar ulama fikih, adalah harta.Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi SAW: “Penanggung itu menanggungkerugian.” Sehubungan dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penanggung adalahberupa harta, maka hal ini dikategorikan menjadi tiga hal, sebagai berikut: Tanggungan dengan hutang, yaitu kewajiban membayar hutang yangmenjadi tanggungan orang lain. Dalam masalah tanggungan hutang, disyaratkan bahwa hendaknya, nilai barang tersebut tetap pada waktu terjadinya transaksi tanggungan/jaminan dan bahwa barangnya diketahui, karena apabila tidak diketahui, makadikhawatirkan akan terjadi gharar. Tanggungan dengan materi, yaitu kewajiban menyerahkan materi tertentuyang berada di tangan orang lain. Jika berbentuk bukan jaminan seperti ariyah (pinjaman)atau wadi ah (titipan), maka kafalah tidak sah. Kafalah dengan harta, yaitu jaminan yang diberikan oleh seorang penjual kepada pembeli karena adanya risiko yang mungkin timbul dari barang yang dijual- belikan.

L.     Upah Atas Jasa Kafalah
Adiwarman A. Karim memberikan keterangan tentang upah atas jasa kafalah ini yangia kemukakan dengan mengawali sebuah pertanyaan: "Bolehkah si pejamin mengambilupah atas jasanya itu?" Kemudian ia menjelaskan bahwa, ulama kontemporer, sepertiMustafa Abdullah al-Hamsyari yang mengutip pendapat Imam Syafii, berpadangan bahwapemberian uang (fee) kepada orang yang ditugaskan untuk mengadukan suatu masalahkepada raja tidak dapat dianggap sebagai uang sogok (riswah), tetapi dianggap sebagaiupah (jualah), dan hukumnya sebagai ganjaran lelah atau biaya perjalanannya.Ulama lain, Abdu al-Sai al-Misri mengatakan, bahwa seorang penanggung/penjaminharuslah mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya sebagai penjamin.Pendapat ini membuka peluang dimasukkannya pertimbangan besarnya risiko yangdipikul oleh si penjamin dalam memperhitungkan upahnya.

M.   Akibat-akibat Hukum Kafalah
Apabila orang yang ditanggung tidak ada (pergi atau menghilang),maka kafil berkewajiban menjamin sepenuhnya. Dan ia tidak dapat keluar dari kafalah, kecuali dengan jalan memenuhi hutang yang menjadi bebanashil (orangyang ditanggung). Atau dengan jalan, bahwa orang memberikan pinjaman (hutang) -dalamhal ini bank- menyatakan bebas untuk kafil, atau ia mengundurkan diri dari kafalah. la berhak mengundurkan diri, karena memang itu haknya. Adapun yang menjadi hak orang/bank (sebagai makful lahu) menfasakh akad kafalah dari pihaknya. Karena hak menfasakh ini adalah hak makful lahu. Dalam hal orang yang ditanggung melarikan diri, sedangkan ia tidakmengetahui tempatnya, maka si penanggung tidak wajib mendatangkannya, tetapi apabilaia mengetahui tempatnya, maka ia wajib mendatangkannya, dan si penanggung diberikanwaktu yang cukup untuk keperluan tersebut.


N.    Penerapan Kafalah Dalam Perbankan
Sebagaimana dimaklumi, bahwa kafalah (bank garansi) adalah jaminan yangdiberikan bank atas permintaan nasabah untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak lainapabila nasabah yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya.Di samping itu, jaminan (penanggungan) tersebut bisa bersifat kebendaan, seperti hak tanggungan dan jaminan fiducia serta jaminan perorangan (personal guarantee). Jaminan perorangan(termasuk di dalamnya badan hukum = company guarantee) dalam praktek perbankan diberikan dalam bentuk bank garansi, sebagaimana diatur dalam SE Dir BI nomor: 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991.
Bank garansi yang diterbitkan suatu bank merupakan. pernyataan tertulis untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan apabila di kemudian hari pihak terjamin tidak memenuhi kewajibannya kepada penerima jaminan sesuai dengan jangka waktu dansyarat-syarat yang telah ditentukan. Oleh karena itu, di dalam mekanisme bank garansiterdapat tiga pihak yang terkait, yaitu bank sebagai penjamin, nasabah sebagai terjamin atas permintaannya, dan penerima jaminan. Bank dalam pemberian garansi ini, bisaanya meminta setoran jaminan sejumlah tertentu (sebagian atau seluruhnya) dari total nilai obyek yang dijaminkan. Di samping itu, bank memungut biaya sebagai jualah dan biaya administrasi.

Analisa Praktek akad Wakalah Pada BMT Mentari
Dari hasil wawancara dengan Bapak Ari Yulianto salah satu karyawan yang menjabat sebagai FO di KCP  BMT Mentari yang beralamatkan kantor  di Jl. Pasar Purbolinggo Lampung Timur disamping BRI teras Purbolinggo. Bahwa untuk akad kafalah ini merupakan akad pelengkap untuk Pembiayaan murabahah. Pembiayaan murabahah di sektor pertanian salah satu  produk pembiayaan yang paling eksis di KCP  BMT Mentari.
Pada dasarnya, praktek pembiayaan murabahah di KCP  BMT Mentari sama dengan praktek murabahah di perbankan-perbankan syari’ah lainnya. Namun,ada perbedaaan prosedur dalam penggunaan akad pelengkap.
Dalam prakteknya di KCP  BMT Mentari, ketika anggota datang ke KCP  BMT Mentari untuk mengajukan pinjaman dalam bentuk nama baik atau lainnya, pihak yang pemimjam tetap harus memberikan barang jaminan, pinjaman tidaklah cukup hanya menggunakan nama baik saja.



BAB III
PENUTUP

Dari makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (yang menerima jaminan) (makful lahu) untuk memenuhi kewajiban pihak kedua (pihak yang dijamin) (makful ‘anhu, ashil). Akad ini berlandaskan dalil baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi.
Kafalah dapat dilaksanakan dengan lima bentuk, yaitu, Kafalah Al-Mu’allaqah, Kafalah Al-Munjazah, Kafalah Bi At-Taslim, Kafalah Bi An-Nafs, Kafalah Bi Al-Mal.
Jika orang yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan membayar hutang orang yang ia jamin, dan atas perintah/izin yang dijamin, maka ia boleh meminta kembali uang dengan jumlah yang sama kepada orang yang ia jamin. Jika tidak atas perintah orang yang dijamin, maka penjamin (kafil) tidak punya hak untuk minta ganti rugi kepada orang yang dijamin (makful ‘anhu).
Dengan adanya kafalah pihak yang dijamin/pengelola proyek (makful ‘anhu) dapat menyelesaikan proyek dengan ditanggung pengerjaannya dan bisa selesai dengan tepat waktu atau efisien dengan jaminan pihak ketiga (bank/kafil) yang menjamin pengerjaannya. Sedangkan dengan adanya kafalah pihak yang menerima jaminan/pemilik proyek (makful lahu) menerima jaminan dari penjamin (dalam hal ini bank/kafil ) bahwa proyek yang diselesaikan oleh nasabah pengelola proyek tadi dapat selesai dengan tepat waktunya dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Arif, Nur Rianto. 2011. Dasar-Dasar Ekoonomi Islam. Surakarta: Era Adicitra Intermedia
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan. Jakarta:Tazkia Institute.
http://desbayy.blogspot.co.id/2015/05/makalah-kafalah.html



[1][1][2]Ahmad Isa Asyur,Fikih al-Muyassar fi al-Muamalah, (Terj). (Solo: Pustaka Mantiq, 1995).Hal. 276.
[3][6][7]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan (Jakarta:Tazkia Institute.1999) hal. 232

0 Response to "Makalah Kafalah Dalam Fiqih Muamalah"

Post a Comment