Makalah MSI Agama ditinjau dari pendidikan_kali ini saya akan membagikan makalah agama yang membahas MSI, yuk langsung simak aja kajian dibawah ini...
BAB I
PENDAHULUAN
Makalah MSI Agama
A. Latar belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
Seiring dinamika dan perkembangan zaman, kesempatan untuk mempelajari Studi Islam dapat
melalui segala hal, berkaitan dengan persoalan tentang mempelajari Studi Islam, islam memberikan kesempatan secara luas kepada manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara maksimal untuk mempelajarinya, namun jangan sampai penggunaannya melampaui batas dan keluar dari rambu-rambu ajaran Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama ditinjau dari filososif
Berdasarkan pendekatan filosofis, ilmu pendidikan islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang didasari oleh nilai-nilai ajaran islam yang bersumber pada kitab suci al-quran dan sunnah Nabi muhammad saw.[1]
1. Perkembangan pemikiran tentang pendidikan islam
Para ulama salaf dan khalaf (baru) serta para ilmuan muslim, terutama interpretasikan dan menganalisis sitem nilai yang terkandung dalam Al-qur’an dan hadis menjadi ajaran dan pedoman yang mendasari proses kependidikan islam. Sedangkan operasionalisasinya dalam bentuk teknis diwujudkan dalam berbagai ragam model dan pola serta metode sesuai dengan taraf kemampuan berpikir konsepsional mereka masing-masing dari zaman ke zaman.
Pendekatan filososif ini adalah lahirnya sikap dan pandangan dasar meyakini bahwa islam sebagai agama wahyu mengandung konsep wawasan, dan ide dasar yang memberikan inspirasi terhadap pemikiran umat manusia dalam rangka menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Agar proses transformasi nilai-nilai islam itu berjalan konsisten ke arah tujuan pendidikan islam, suatu pedoman filosofis yang bersifat ideal yang fleksibel dan kontektual dengan tuntutan kebutuhan manusia.
Al-qur’an sebagai sumber inspirasi dan pandangan hidup universal, memberikan dorongan kepada manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui rasio (akal pikiran ) sejauh mungkin sampai pada zat Allah yang tidak mungkin dicapai oleh rasio.
2. Orientasi ilmu pendidikan islam
Islam sebagi agama wahyu yang lebih mementingkan hidup masa depan yang bernilai duniawi-ukhrawi telah meletakkan pandangan dasar teoritis dalam sumber ilmu pengetahuan dan wawasan dalam Al-qur’an adalah maha luas maka ilmu-ilmu pengetahuan yang diharapakan Allah tetap menjadi penopang kemantapan keimanan kepada Alla SWT, dapat diringkas ke dalam tiga sumber orientasi pengembangan teoritis ilmiah, yaitu sebagai berikut :
a. Orientasi pengembangan kepada Allah Yang Maha Mengetahui.
b. Orientasi pengembangan ke arah kehidupan soaial manusia, di mana muamalah bainan nas (pergaulan antara manusia) semakin komleks dan luas ruang lingkupnya akibat pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi modern yang maju pesat.
c. Orientasi pengembangan ke arah alam sekitar yang diciptakan Allah untuk kepentingan hidup umat, mengandung berbagai macam kekayaan yang haurs digali,dikelola, dan dimanfaatkan oleh manusia.
3. Model yang mengabstrakan pendekatan dan orientasi
Setiap manusia memiliki kemmpuan psikologis yang dapat dikembangkan melalui proses kependidikan ke arah pengembangan yang optimal. Model pendidikan islam secara teoritis dapat dibentuk sesuai pendekatan filosofis sebagai berikut :
a. Aspek filosofis, manusia selaku hamba Tuhan telah diberi kemampuan dasar atau fitrah yang bersifat dinamis dan berkecendrungan sosial-religius dalam struktur psiko-fisik (jasmani-rohani).
b. Aspek epistimologi, manusia diberi kemampuan dasar untuk berilmu pengetahuan dan beriman kepada penciptanya sesuai dengan kemampuan derajat kemanusiaannya yang memberi corak kemuliaan melebihi yang lain.
c. Aspek pedagogis, manusia adalah makhlik belajar sepanjang hayat yang didasari dengan nilai-nilai islam. [2]
B. Agama ditinjau dari pesikologis
Psikologis telah banyak melakuakan studi secara khusus dari aspek-aspek kemampuan belajar manusia. Tanpa didasari dengan pandangan psikologis, bimbingan, dan pengarahan yang bernilai. Berbagai hambatan dan rintangan yang bersifat psikologis dalam diri manusia telah diindentifikasikan oleh ahli psikologi (muslim) agar hambatan atau rintangan psikologis dapat diatasi dengan metode pendidikan yang tepat . Allah telah menunjukan berbagai gejala hambatan dan rintangan psikologis yang bermukim didalam diri manusia, baik yang bersifat pembawaan maupun karena pengaruh faktor eksternal.
1. Ruang lingkup kajian
Pendekatn ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah esensi dari aspek-aspek batini pengalaman dan dengan suatu esensi, pengalaman keagamaan tersebut dapat diketahui. Akan tetapi, sentimen-sentimen individu dan kelompok berikut gerakan dinamisnya harus pula diteliti.
Psikologis agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari agama, artinya penyelidikan mengenai peran religius dari budi. Psikoologi mempelajari reaksi-reaksi manusia, yang bersifat kolektif ataupun individual, terhadap kenyataan dan tidak peduli bagaimana kenyataan itu dilukiskan dengan dialami dan menjadi pengalaman bagi semua agama maupun kepuasan akhir yang dirindukan oleh jiwa manusia.
Anggapan dasar psikologi dalam mengkaji agama adalah bahwa motif-motif psikologis dan tanggapan-tanggapannya bersifat umum bagi semua bentuk agama yang dikenal, baik yang primitif, sudah sangat berkembang, atau bersifat histori.
Sumber-sumber pokok untuk mengumpulkan data ilmiah penelitian melalui pendekatan psikologi ini dapat diperoleh :
a. Pengalaman orang-orang yang masih hidup
b. Apa yang kita capai dengan meneliti dari kita sendiri
c. Riwayat hidup yang ditulis oleh yang bersangkutan, atau yang ditulis oleh para ahli agama.
C. Agama ditinjau dari antropologis
1. Ruang lingkup antropologis
Antropologis merupakan ilmu yang mengkaji manusia dan budayanya. Tujuannya adalah memperoleh pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang,baik sebagai organisme biologis maupun seabagai makhluk berbudaya.
Antropologi dibagi menjadi dua, antropologi fisikal dan antropologi kultural :
a. Antropologi fiskal yaitu yang mengkaji aspek biologis manusia, baik dalam segi evolusi, variasi maupun adaptasinya.
b. Antropologi kultur yaitu antropologi yang mengkaji budaya manusia, baik dalam sejarah, struktur, serta fungsinya.
Sementara itu, agama merupakan seperangkat kepercayaan, doktrin, dan norma yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh manusia. Keyakinan manusia tentang agama yang diikat oleh norma-norma dan ajaran-ajaran tentang cara hidup manusia yang baik, maka itu semua dihasilkan oleh pikiran atau prilaku manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan yang tidak nyata.
Dari aspek ini, kita bisa mengetahui mana yang menjadi doktrin, aturan, ataupun ajaran agama, dan mana yang menjadi budaya sebagai buah penyikapan manusia terhadap agama dan doktrin.[4]
2. Problem keyakinan
Edward Burnet tylor, seorang pelopor antropologi modern, membatasi agama dengan paham animisme. Ia mendefinisikan agama sebagai the beliefs in spiritul beings (kepercayaan terhadap adanya roh).
Memahami agama pada masa permulaan (primitif) tidak berarti salah. Hal demikian sudah didasari bahwa kecendrungan untuk memahami sesuatu dan meminta pertolongan dari segala kesulitan hidup merupakan naluri manusia. Demikian juga dengan studi tentang agana dan adat istiadat serta perkembangan pemikiran manusia tentang tuhan berkembang pula sesuai dengan perkembangan kajian-kajian sosial pada umumnya. Sekalipun demikian, memang ada beberapa kesulitan dalam studi agama primitif ini. Salah satunya adalah tidak terdapatnya kesamaan pendapat tentang kepercayaan terhadap tuhan (realitas mutlak).
3. Agama, magik, dan mitos
Sejarah agama sama tuanya dengan sejarah manusia. Tidak ada suatu masyarakat, manusia yang hidup tanpa suatu agama. Seluruh agama merupakan perpaduan kepercayaan keagamaan dan sejumlah upacara. Hubungan antara kepercayaan dan upacara keagamaan tidak mudah untuk diterangkan , dan karena itu perlu mendapat perhatian dan perubahan yang seksama. Hubungan dengan masalah magik dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa ketergantungan terhadap magik menjadi semakin besar. Sekalipun dengan mengarahkan segala kemampuan dan pengetahuan, keberhasilan mungkin tidak dapat diperolehnya. Sebab, hasil yang akan diperoleh ditentukan oleh berbagai kekuatan yang berada diluar jangkauannya. Kegagalan dapat disebabkan oleh “kesialan dan nasib jelek”.
Kepercayaan agama adalah sekumpulan jawaban yang didasarkan atas ilmu ketuhanan atau “penafsiran atas kekuatan-kekuatan gaib terhadap berbagai pertanyaan mendasar yang ditimbulkan oleh akal pikiran manusia”.
Magik (kekuatan gaib) merupakan suatu hubungan antara tindakan pelaksanaan suatu perbuatan dan hasil yang sidatangkannya, manakala cara untuk mencapai hasil perbuatan tersebut tidak diketahui denagan jelas karena tidak menurut kaidah-kaiah ilmu pengetahuan.
Adapun mitos, dalam pandangan masyarakat primiif dianggap sebagai suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, dan menjadi contoh model tindakan manusia serta memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini.[5]
D. Agama ditijau dari sosiologis
Mengkaji agama dalam konteks sosiologi memunculkan dua pengertian. Pertama, hasil-hasil kajian agama diperuntukan bagi kepentingan ilmu studi agama. Dan kedua, hasil-hasil kajian itu diperuntukan bagi kepentingan sosiologi. Dan ada perbedaan mendasar antara ahli sosiologi agama dan ahli “ilmu studi agama” yang sam-sama menggunakan pendekatan sosiologi. Ahli sosiologi agama terikat oleh frame work sosiologi objektif, yaitu untuk mengetahui manusia dan masyarakat sejauh dapat diperoleh atau dicapai melalui penelitian terhadap unsur-unsur, proses-proses, serta hal-hal yang memengaruhi dan dipengaruhi, dalam kehidupan berkelompok. Asumsi dasarnya adalah tingkah laku manusia itu dipahami sebagai produk kehidupan berkelompok.
Sebaliknya, sebagai disarankan Joachim Wach, para penstudi agama yang menggunakan pendekatan sosiologis tidak menganggap agama sebagai fungsi pengkelompokan sosial yang alamiah.
Sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk yang terjadi antara mereka. Interrelasi itu berupa dorongan, gagasan dan kelembagaan agama yang memengaruhi, dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi, dan stratifikasi sosial. Jadi, sosiolgi agama bertugas menyelidiki tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi memengaruhi agama sebagaimana agama itu sendiri memengaruhi mereka.
1. Ruang lingkup kajian
Emile Durkheim, seorang pelopor sejarah agama-agama di perancis, menyatakan bahwa agama merupakan sumber utama kebudayaan yang sangat tinggi, berbeda dengan Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu bagi manusia. Yang menjadi masalah adalah bagaimana sosiologi mendekati seefektif mungkin (observasi dan analisis) aspek eksistensi sosial manusia yang banyak. Oleh karena itu, salah astu bidang kajian sosiologi agama adalah kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadah untuk masyarakat, dan lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat.
Masalah yang sulit dihadapi oleh para sosiologi, yang perhatian utamanya adalah terhadap tingkah laku manusia. Berkaitan dengan masalah makna ini, agama dalam keanekaragamannya, yang hampir tidak dapat dibayangkan itu, memerlukan deskripsi dan bukan definisi. Hal ini karena, makna-makna yang ada dalam disetiap agama, yang merupakan cerminan dari emosi keagamaan, dipandang tidak dapat diekspresikan, sehingga perkiraan-perkiraan serta pengenalan terhadap benda-benda dan makhluk-makhluk sakral yang gaib dalam pikiran dan jiwa para pemeluk agama, hanya bisa diidenifikasi secara simbolik.
Masalah selanjutnya bagi pemeluk-pemeluk agama mungkin khawatir jika penelitian yang tidak seksama itu mengurangi nilai yang sangat mereka hargai atau memundurkannya. Ada perbedaan antara sikap mental pengkaji (agama) pemeluknya, yaitu keyakinan dan kekaguman.
Dari kesulitan-kesulitan ini, banyak sarjana sosiologi yang berusaha mendefinisikan agama dengan melihat manusia sebagai pelaku dan memberikan tekanan khusus pada upaya menggunakan agama dalam kehidupan sosialnya, bahkan dalam segi kehidupannya. Agama merupakan fenomena manusia yang berfungsi menyatukan kesatuan ritual, sosial, dan sitem-sistem ke dalam lingkungan yang berarti. Secara umum, disini termasuk komponen-komponen :
a. Komunitas para pengikut (jama’ah)
b. Mitos-mitos umum yang menafsirkan abstraksi nilai-nilai kultur ke dalam realitas histori.
c. Tingkah laku ritual
d. Suatu dimensi dari pengalaman yang di akui karena mencakup sesuatu yang lebih dari pada realitas sehari-hari.
Dilihat dari aspek duniawinya, atau lebih tepat dalam kehidupan masyarakat, agama merupakan establishment, sumber nilai dan kekuatan mobilisasi yang sering menimbulkan konflik dalam sejarah umat manusia. Dia terikat dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.
2. Analisis kultural dan teori fungsional
Pendekatan sosiologi dalam mengamati agama dapat dilakukan melalui pendekatan analisis kultural, yakni berusaha mencapai akses ke dalam dunia konseptual tempat hidup masyarakat yang diselidiki. Penganalisisan ini dilakukan untuk menyelidiki nilai-nilai, konsepsi, dan paham-paham yang membimbing tindakan meraka dan yang memberi makna pada pengalaman dan lingkungan mereka.
Teori fungsional memandang bahwa sumbangan terhadap masyarakat dan kebudayaan berdasarkan karakterristik pentingnya transendensi pengalaman sehari-harinya dalam lingkungan alam.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Makalah MSI Agama ditinjau dari pendidikan
Makalah MSI Agama ditinjau dari pendidikan
Studi Islam meliputi kajian agama islam dan tentang aspek-aspek keislaman masyarakat dan budaya muslim. Menurut pendapat para ulama objek Studi Islam meliputi islam sebagai doktrin dari Tuhan, substansi ajaran-ajaran islam dan interaksi sosial. Adapun tujuan Studi Islam adalah sebagai wawasan normative, kontekstual, aplikatif dan konstribusi konkret terhadap dinamika dan perkembangan yang ada, mendapatkan gambaran tentang agama islam secara luas, mendalam namun utuh, dan dinamis.
Ada beberapa pendekatan Studi Islam antara lain, pendekatan filosofis, Antropologis, sosiologis. Psikologis ilmiah doktriner dan normatif.
Demikianlah makalah ini kami buat. Tentunya masih banyak kesalahan yang terdapat dalam makalah ini untuk menuju yang lebih baik lagi, kritik dan saran kami butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya. Kami ucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila masih banyak kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amien
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, ilmu pendidikan islam, Jakarta: Bumi Aksara,1989.
Adeng Muchtar Ghazali, ilmu studi agama,Bandung: Pustaka Setia,2005.
Zakiah Daradjat, metodologi pengajaran agama islam, Jakarta: Bumi Aksara,1983.
Nama: Edi Mustofa
TTL: Kali Pasir,17 Juni 1994
Alamat: Kali Pasir, Kec. Way Bunggur,
Lampung Timur.
No Hp: 0856 6942 8625
Email: Edybisa@gmail.com
Riwayat pendidikan:
1. TK Mekar Sari kali pasir
2. SDN 1 Kali pasir
3. SMP N 3 Way Bungur
4. SMK Ma’arif NU 1 Purbolinggo
5. Sedang menempuh pendidikan S1 Perbankan Syari’ah di IAIM Metro
Riwayat Organisasi:
0 Response to "Makalah MSI Agama ditinjau dari pendidikan"
Post a Comment