makalah tafsir ayat ekonomi Larangan Mencari Harta Dengan Riba

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehinga kami dapatmenyusun dan menyelesaikan makalah tentang Tafsir Ayat Ekonomi Tentang Larangan Mencari Harta
Dengan Riba ini dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun agar pembaca makalah dapat memahami tafsir ayat ekonomi yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Karena tanpa kita sadari banyak hal di sekitar kita yang berhubungan dengan tema yang kita bahas kali ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi pembacanya,walaupun kami sadari masih banyak kekurangan. Untuk itu kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Akhirnya penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Terima kasih.



Batangharjo, 16 November 2014





              Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat. Dan juga ada kalangan yang mengatakan bahwa riba yang dilarang itu hanyalah riba yang berlipat ganda saja. Sedang riba yang sedikit tidak dilarang.
Maka dari itu pada pembahasan kali ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana sebenarnya riba yang dilarang itu apakah riba yang berlipat ganda saja atau semua jenis riba yang dilarang oleh syariat. Penulis mulai dari ayat mana sajakah yang mengharamkan riba. Kemudian bagaimana kronologi penurunan ayat tersebut apakah turun atas kehendak Allah secara langsung, adanya suatu peristiwa atau atas jawaban pertanyaan para sahabat. Setelah itu bagiamana hukumnya menurut para mufassir zaman dahulu. Dari sini diharapkan kita dapat mengetahui sebenarnya tentang pengharaman riba itu yang bagaimana. 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riba Dalam Perspektif Islam
Istilah riba sudah sejak lama dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat sebelum turunnya perintah al-Qur’an dan Hadis yang ditujukan kepada umat Islam sebagai tujuan terciptanya kesejahteraan dalam kehidupan ekonomi mereka. Melakukan kegiatan ekonomi adalah tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. al-Qur’an dan Hadis adalah pedoman bagi manusia dalam melakukan segala kegiatan ekonomi mereka yang di dalamnya juga memuat berbagai bentuk aktivitas ekonomi yang tidak dibenarkan seperti pengambilan riba. Hal ini dikarenakan sifat manusia yang serakah ingin memuaskan kesejahteraan ekonominya tanpa menghiraukan lingkungan sekitar tereksploitasi sehingga tujuan terciptanya sebuah masyarakat yang berdasarkan keadilan dan kebaikan (al-adl wal ihsan) menjadi terhambat.
Semua ajaran agama melarang mempraktikkan pengambilan riba. Di antara ajaran agama yang melarang konsep riba tersebut adalah pertama agama Yahudi. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undang-undang Talmud. “Janganlah engkau mengambil riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta riba, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba pula.” (Kitab Levicetus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37. Kedua,agama Kristen yang pernyataannya dituangkan dalam Lukas 6: 34-35 yang berbunyi: “Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihilah musuhmudan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. [1]
Tak terkecuali dari kedua ajaran agama samawi tersebut, dalam ajaran Islam pun riba disebutkan di beberapa tempat secara berkelompok, yaitu surat al-Rum: 39, surat al-Nisa’: 160-161, surat Ali Imran: 130, dan surat al-Baqarah: 275-280. Namun setelah terjadi evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan seperti perbankan yang pada umumnya digunakan untuk kebutuhan modal dalam rangka membiayai kegiatan usaha, maka kemudian menimbulkan berbagai kontroversi hukum pengambilan bunga di sebuah lembaga keuangan yang disinyalir demi memenuhi biaya administrasi, jaminan keamanan, kemungkinan merosotnya daya beli uang baik karena inflasi maupun nilai tukarnya terhadap mata uang asing, dan juga ongkos-ongkos yang diperlukan untuk menjaga keutuhan uang karena pembayaran dengan cara angsuran. Selain itu juga yang menjadi kontroversial dalam masalah hukum riba ini adalah pernyataan al-Qur’an yang bersifat global dalam menerangkan definisi riba sehingga memunculkan banyak penafsiran di kalangan pemikir Islam begitu pula dengan pemikir orientalis yang notebene riba dikaitkan dengan bunga bank yang merupakan bagian dari peradaban Barat. Maka, yang dimaksud dengan kontak itu adalah sesudah diterimanya peradaban Barat oleh para tokoh pembaharu dalam Islam, yaitu sesudah abad ke-18. Karenanya, kontroversi tentang hukum bunga bank muncul sesudah kurun waktu tersebut, tidak sebelumnya. Dalam catatan sejarah, berdirinya lembaga perbankan di berbagai negara Islam adalah sesudah abad ke- 20. [2]
Sebagai finacial intermediary, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan danaketika ia memberi pinjaman. Dalam kegiatan ini, muncul apa yang disebut bunga.
Berdasarkan latar belakang permasalahan riba ini, maka hubungannya adalah berkaitan erat dengan: bagaimanakah pendapat dari berbagai kalangan pemikir tentang riba sebagai hasil dari penafsiran mereka memahami ayat yang menjelaskan tentang riba tersebut? Apa yang mendasari pendapat mereka jika dihubungkan dengan sendi-sendi perekonomian? Dan adakah implikasi yang ditimbulkan oleh pengambilan riba.
B.     Riba dalam al-Qur’an
Istilah riba digunakan dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali. Secara bahasa riba bermakna tambahan (az-ziyadah), tumbuh (an-numuw), meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-‘uluw). Di dalam al-Qur’an term riba dapat dipahami dalam delapan macam makna, yaitu: pertumbuhan (growing), peningkatan (increasing), bertambah (swelling), meningkat (rising), menjadi besar (being big), dan besar (great), dan juga digunakan dalam pengertian bukit kecil (hillock). Walaupun istilah riba tampak dalam beberapa makna, namundapat diambil satu pengertian meningkatnya (increase) modal pokok pinjaman, baik menyangkut kualitas maupun kuantitasnya, sebagai imbalan atas tempo pembayaran yang disyaratkan.Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba di sini adalah “pemberiaan” (gift). Berdasarkan interpretasi ini, Azhari (w. 370 H/ 980 M) dan Ibnu Mmansur (w. 711 H/ 1311 M) menjelaskan riba terdiri dar dua bentuk, yaitu riba yang dilarang dan riba yang dibolehkan (leal) menurut hukum. Menurut Ibnu Mansur, maksud riba yang sah menurut hukum adalah menyangkut yang setiap pemberian seseorang terhadap orang lain yang dilakukan hanya untuk mengharapkan sesuatu yang lebih baik pada waktu yang mendatang (di akhirat kelak). Interpretasi yang demikian agaknya menimbulkan problematik, karena seluruh pemakaian istilah riba dalam al-Qu’an tampak mempunyai makna yang sama, yaitu mengenai pembebanan utang terhadap nilai pokok yang dipinjamkan kepada peminjam (debitur) ketika tidak mampu mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditentukan. Istilah riba yang diartikan dengan arti “pemberian” (gift) tidak tampak pada masa sebelum Islam maupun setelah datangnya Islam. Baik Azhari maupun Ibnu Mansur tampaknya tampaknya tidak mendapatkan contoh konkrit terhadap pemakaian istilah riba digunakan dalam makna “pemberian” (gift).
            Dalam al-Qur’an larangan pengambilan riba termaktub dalam empat surat yang didasarkan tahapan-tahapan pengharamannya. Penjelasan mengenai hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya. [3]
C.    Riba Dalam Pola Pentahapan Dan Asbabun Nuzul          
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan dalam empat tahap, yakni yang secara berurutan dimulai surat Ar-Rum ayat 39, surat An-Nisa’ ayat 160-161, surat Ali Imran ayat 130, dan terakhir surat Al-Baqarah ayat 278-279.
Ar- Rum, 30: 39

وما اْتيتم من ربا ليربوا في اموال النّاس فلا يربوا عند اللهوما اْتيتم من زكوة تريدون وجه الله فاْولئك هم المضعفون

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Dalam tahap ini, pinjaman riba yang zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT, ditolak dan tidak tidak diterima. Dan riba yang dimaksud untuk menambah harta itu, sebenarnya tidaklah menambah di sisi Allah. Ayat ini turun sebelum hijrah (Makiyah), belum menyatakan haramnya riba, tetapi sekedar menyatakan bahwa Allah tidak menyukainya.



An-Nisa’, 4 : 160 – 161

فبظلم مّن الّذين هادوا حرّمنا عليهم طيبت أحلّت لهم وبصدّهم عن سبيل الله كثيراَ* واحذهم الرّبوا وقد نهوا عنه واكلهم اموال النّاس بالباطل واعتدنا للكافرين منهم عذابا اّليماَ
                                        
“Maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Ayat ini turun dalam konteks waktu itu, orang-orang Yahudi biasa melakukan perbuatan dosa besar. Mereka selalu menyalahi aturan yang telah ditentukan oleh allah SWT. Barang-barang yang telah dihalakan oleh Allah mereka haramkan, dan apa yang diharamkan oleh Allah mereka lakukan. Sebagian dari barang yang diharamkan oleh Allah yang mereka banyak budayakan adalah riba. Hanya orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah secara jujur dari kalangan meraka – diantaranya Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Asad bin Sa’yah dan Asad bin Usaid – saja yang tidak mau melakukan kezaliman. Sehubungan dengan itu, Allah SWT menurunkan ayat 161 sebagai kabar tentang perbuatan mereka dan sebagai kabar gembira bagi mereka yang beriman untuk mendapatkan pahala yang besar dari sisi Allah SWT. (HR. Ibn Abi Hatim dari Muhammad ibn Abdillah ibn Yazid al-Muqri dari Yahya ibn Uyainah dari Amr ibn Ash). Dalam tahap ini, riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang Yahudi dilarang melakukan riba, tetapi larangan itu dilanggar mereka sehingga mereka dimurkai Allah SWT dan diharamkan kepada mereka sesuatu yang telah pernah dihalalkan kepada mereka sebagai akibat pelanggaran yang mereka lakukan. Ayat ini turun sesudah Hijrah (Madaniyah). Dan ayat ini belum secara jelas ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi secara sindiran telah menunjukan bahwa, kaum muslimin pun jika berbuat demikian akan mendapat kutuk sebagaimana yang didapat orang-orang Yahudi.
Ali Imron, 3: 130

يايها الّذين امنوا لا تاءكلوا الربوا اضعافا مضاعفة واتّقوا الله لعّلكم تفلحون

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan.”


Dalam tahap ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahawa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Ayat ini turun pada tahun ke tiga hijrah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari parktik pembungaan uang pada saat itu
Pada waktu itu terdapat orang-orang yang melakukan akad jual beli dengan jangka waktu tertentu (kredit). Apabila waktu pembayaran telah tiba, mereka ingkar, tidak mau membayar, sehingga dengan demikian bertambah besarlah bunganya. Dengan menambah bunga berarti mereka bertambah pula jangka waktu untuk membayar. Sehubungan dengan kebiasaan seperti ini Allah menurunkan ayat ini, yang pada intinya memberi peringatan dan larangan atas praktik jual beli yang demikian itu. (HR. Faryabi dari Mujahid). Dalam riwayat lain diceritakan bahwa, di zaman Jahiliyah Tsaqif berhutang kepada Bani Nadhir, pada waktu yang telah dijanjikan untuk membayar hutang itu, Tsaqif berkata: “Kami akan membayar bunganya dan kami meminta agar waktu pembayaranya ditangguhkan. Sehubungan dengan hal itu Allah SWT menurnkan ayat 130 sebagai peringatan, larangan dan ancaman bagi mereka yang membiasakan berbuat riba. (HR. Faryabi dari Atha’).
.      Al-Baqarah : 278 – 279.

يايها الّذين امنوا اتقوا الله وذرا ما بقي من الرّبواان كنتم مؤمنين * فان لم تفعلوا فاْذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لا تظلمون ولا تظلمون

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakanya (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan).”
Pada tahap akhir ini, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ayat 278 dan 279 diturunkan sehubungan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Mekkah Itab bin Usaid setelah terbukanya Kota Mekkah tentang utang-utang yang dilakukan dengan riba sebelum turunya ayat yang mengharamkan riba. Bani Mughirah menghutangkan harta kekayaan kepada Bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada Itab bin Usaid: “Kami adalah segolongan yang paling menderita lantaran dihapuskanya riba. Kami ditagih riba oleh orang lain, sedangkan kami tidak mau menerima riba lagi karena taat kepada peraturan Allah AWT yang menghapu riba”. Bani Amr bin Auf berkata: “Kami minta penyelesaian tagihan riba kami”. Oleh sebab itu Gubernur Mekah Itab bin Usaid mengirim surat kepada Rasulullah SAW yang isinya melaporkan kejadian tersebut. Surat ini dijawab oleh Rasulullah SAW setelah turunya ayat 278 dan 279 ini. Di dalam ayat ini ditegaskan tentang perintah untuk meninggalkan riba. [4]

BAB III
KESIMPULAN
. Riba memang sudah ada dan dipraktikkan oleh masyarakat pra-Islam untuk memperoleh keuntungan dari aktifitas ekonominya. Riba ini memdapat perhatian penuh oleh para pemikir ekonomi tak terkecuali para pemikir Islam dalam memahami riba setelah turunnya ayat-ayat al-Qur’an mengenai larangan riba yang turun dalam empat fase, yaitu mulai dari surat ar-Rum ayat 39, dilanjutkan tahap kedua surat an-nisa’ ayat 160-161, terus surat Ali Imran ayat 130 dan tahap terakhir surat al-Baqarah ayat 278-279.
            Karena dalam pernyataan riba tidak ditemukan definisi eksplisit, maka timbullah multi tasfir dar para kalangan ulama tersebut. Di anataranya ada ulama yang membenarkan praktik riba ini dengan mengutarakan alasan mudrat, kemaslahatan, mengurangi inflasi, untuk pinjaman produktif, bukan termasuk riba jahiliyah, hanya diperuntukkan terhadap enam komoditas yang disebut hadis, riba hanya untuk transaksi jual beli tidak dalam pinjaman, dan lembaga keuangan yang tidak menerima khitab riba dalam ayat dan hadis riba. Selain itu pula ada berbagai teori yang menunjang pemberan riba ini, yaitu teori abstinence, teori bunga sebagai imbalan sewa, teori opportunity cost, teori kemutlakan produktivitas, teori nilai uang pada masa datang lebih rendah.
            Dari berbagai pendapat yang membenarkan riba dijawab tegas oleh ulama yang menyatakan keharaman riba. Tapi jawaban dari ulama tersebut berujung pada satu inti yaitu adanya illat keteraniayaan (eksploitasi/ zulm) karena adanya pembebanan tambahan (ad’afan muda’afah) dari hutang pokok bagi pemberi riba dan monopoli modal bagi pengambil riba. Illat yang berikan ulama dalam versi ini didukung kuat oleh pengulangan kosa kata riba dalam al-Qur’an yang dapat diartikan taqyid (pengokohan) dan riba dihadapkan dengan sedekah (zakat). Keberadaan illat ini sesuai dengan kaidah “mendatangkan maslahat menolak mudarat, jalb al-masalih wa dar’ al-mafasid” dan kaidah “semua larangan pada dasarnya adalah haram.”



DAFTAR PUSTAKA



Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut.
Assad, Muhammad (Leopald Weiss. 1984. Dalam The Message of the Qur’an. Dar Andalus: Gibraltar.
Mahali, A. Mudjab. 1989. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tt. Tafsir al-manar. Jilid III.Bairut: Dar al-Ma’i  Arif.




[1]Assad, Muhammad (Leopald Weiss. 1984. Dalam The Message of the Qur’an. Dar Andalus: Gibraltar. Hal 124

[2]Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Pers & Tazkia Institut. Hal 88-92


[3] Ibid hal 88 Antonio, Muhammad Syafi’i
[4] Mahali, A. Mudjab. 1989. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tt. Tafsir al-manar. Jilid III.Bairut: Dar al-Ma’i  Arif.

0 Response to "makalah tafsir ayat ekonomi Larangan Mencari Harta Dengan Riba"

Post a Comment